MAKALAH HUTANG PIUTANG DAN PINJAM MEMINJAM



PENDAHULUAN

Di dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari yang namanya hutang piutang. Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan ada pula yang dibutuhkan. Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari pinjaman dari orang-orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman.
Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka. 





















PEMBAHASAN

PENGERTIAN HUTANG PIUTANG:
Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang. (Lihat Fiqh Muamalat (2/11), karya Wahbah Zuhaili)
Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya. (Lihat Muntaha Al-Iradat (I/197). Dikutip dari Mauqif Asy-Syari’ah Min Al-Masharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashirah, karya DR. Abdullah Abdurrahim Al-Abbadi, hal.29).
Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.
HUKUM HUTANG PIUTANG:
Hukum Hutang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya hutang piutang ialah sebagaimana berikut ini:

Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah I: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)


Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih dari Ibnu Umar ketika turunnya ayat 261 surah Al-Baqarah yang menerangkan bahwa orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah nafkahnya itu adalah seperti sebutir benih yang menumbuhkan 7 tangkai; pada tiap-tiap tangkai seratus biji, maka Rasulullah saw. memohon,"Ya Tuhanku, tambahlah balasan itu bagi umatku (lebih dari 700 kali)."

Setelah Allah swt. mengisahkan tentang umat yang binasa disebabkan karena ketakutan dan kelemahan keyakinan, maka dalam ayat ini Allah menganjurkan supaya umat rela berkorban menafkahkan hartanya di jalan Allah dan nafkah itu dinamakan pinjaman kepada-Nya. Sebabnya Allah swt. menamakannya pinjaman padahal Allah swt. sendiri maha kaya ialah karena Allah swt. mengetahui bahwa dorongan untuk mengeluarkan harta bagi kemaslahatan umat itu sangat lemah pada sebagian besar manusia. Hal ini dapat dirasakan bahwa seorang hartawan kadang-kadang mudah saja mengeluarkan kelebihan hartanya untuk menolong kawan-kawannya, mungkin dengan niat untuk menjaga diri dari kejahatan atau untuk memelihara kedudukan yang tinggi, terutama jika yang ditolong itu kerabatnya sendiri.

Akan tetapi jika pengeluaran harta itu untuk mempertahankan agama dan memelihara keluhurannya, dan meninggikan kalimat Allah yang di dalamnya tidak terdapat hal-hal yang menguntungkan bagi dirinya sendiri, maka tidak mudah baginya untuk melepaskan harta yang dicintainya itu, kecuali jika secara terang-terangan atau melalui saluran resmi. Oleh karena itu ungkapan yang dipergunakan untuk menafkahkan harta benda di jalan Allah itu sangat menarik, yaitu "siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah suatu pinjaman yang baik".
Pinjaman yang baik itu yang sesuai dengan bidang dan kemanfaatannya dan dikeluarkan dengan penuh keikhlasan semata-mata untuk mencapai keridaan Allah swt. Dan Allah menjanjikan akan memberi balasan yang berlipat ganda. Allah memberikan perumpamaan tentang balasan Allah yang berlipat ganda itu, seperti sebutir benih padi yang ditanam dapat menghasilkan tujuh tangkai padi. Setiap tangkai berisi 100 butir sehingga menghasilkan 700 butir bahkan Allah membalasi itu tanpa batas sesuai dengan yang dimohonkan Rasulullah bagi umatnya dan sesuai dengan keikhlasan orang yang memberikan nafkah.

Allah swt. menyempitkan rezeki kepada orang yang tidak mengetahui sunnatullah dalam soal-soal pencarian harta benda dan karena mereka tidak giat membangun di pelbagai bidang yang telah ditunjukkan Allah. Dan Allah melapangkan rezeki kepada manusia yang lain yang pandai menyesuaikan diri dengan sunnatullah dan menggarap berbagai bidang usaha sehingga merasakan hasil manfaatnya. Bila Allah menjadikan seorang miskin jadi kaya atau sebaliknya, maka yang demikian itu adalah sepenuhnya di tangan kekuasaan Allah. Maka anjuran Allah menafkahkan sebagian harta ke jalan Allah, semata-mata untuk kemanfaatan manusia sendiri dan memberi petunjuk kepadanya supaya mensyukuri nikmat pemberian itu karena dengan mensyukuri itu akan bertambah banyaklah berkahnya.


Kemudian Allah menjelaskan bahwa sekalian makhluk akan dikembalikan kepada-Nya pada hari kiamat untuk menerima balasan amalnya masing-masing.
Sedangkan dalil dari Al-Hadits adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi r pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki. Aku datang menemui beliau membawa seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang kudapatkan hanya-lah sesekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda,  “Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam mengembalikan hutang.”(HR. Bukhari dalam Kitab Al-Istiqradh, baba istiqradh Al-Ibil (no.2390), dan Muslim dalam kitab Al-musaqah, bab Man Istaslafa Syai-an Fa Qadha Khairan Minhu (no.1600)
Nabi saw juga bersabda: “Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar As-sabil (no.1389)).
Sementara dari Ijma’, para ulama kaum muslimin telah berijma‘ tentang disyariatkannya hutang piutang (peminjaman).
Adapun hokum berhutang atau meminta pinjaman adalah diperbolehkan, dan bukanlah sesuatu yang dicela atau dibenci, karena Nabi r pernah berhutang. (HR. Bukhari IV/608 (no.2305), dan Muslim VI/38 (no.4086)).
Namun meskipun berhutang atau meminta pinjaman itu diperbolehkan dalam syariat Islam, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari hutang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena hutang, menurut Rasulullah r, merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Hutang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah r: “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).
Rasulullah Saw pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah r bersabda: “Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali hutangnya.” (HR. Muslim).
BEBERAPA ADAB ISLAMI DALAM HUTANG PIUTANG:





[1]. Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan.

Dalilnya firman Allah I: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan.

Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)
[179] Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya.
Ayat ini adalah ayat yang terpanjang dalam al-Quran dan berbicara soal hak manusia. Yaitu memelihara hak keuangan masyarakat. Menyusuli ayat-ayat sebelumnya mengenai hukum-hukum ekonomi Islam yang dimulai dengan memacu masyarakat supaya berinfak dan memberikan pinjaman dan dilanjutkan dengan mengharamkan riba, ayat ini menjelaskan cara yang benar bertransaksi supaya transaksi masyarakat terjauhkan dari kesalahan dan kedzaliman dan kedua pihak tidak merugi.
Syarat-syarat yang ditetapkan oleh ayat ini untuk transaksi adalah sebagai berikut:
1. Untuk setiap agama, baik hutang maupun jual beli secara hutang, haruslah tertulis dan berdokumen.
2. Harus ada penulis selain dari kedua pihak yang bertransaksi, namun berpijak pada pengakuan orang yang berutang.
3. Orang yang berhutang dan yang memberikan pinjaman haruslah memperhatikan Tuhan dan tidak meremehkan kebenaran dan menjaga kejujuran.
4. Selain tertulis, harus ada dua saksi yang dipercayai oleh kedua pihak yang menyaksikan proses transaksi.
5. Dalam transaksi tunai, tidak perlu tertulis dan adanya saksi sudah mencukupi.

Surat Al Baqarah ayat : 283.
283. jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya;


dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
[180] Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.
Ayat ini menerangkan tentang muamalah yang dilakukan tidak secara tunai, yang dilakukan dalam perjalanan dan tidak ada juru tulis yang akan menuliskannya.
Dalam hal muamalah yang tidak tunai, yang dilakukan dalam perjalanan dan tidak ada seorang juru tulis yang akan menuliskannya,
maka hendaklah ada barang tanggungan (borg) yang dipegang oleh pihak yang berpiutang. Kecuali jika masing-masing percaya-mempercayai dan menyerahkan/berserah diri kepada Allah, maka muamalah itu boleh dilakukan tanpa adanya barang tanggungan.

Ayat ini tidaklah menetapkan bahwa borg itu hanya boleh dilakukan dengan syarat dalam perjalanan, muamalah tidak dengan tunai dan tidak ada juru tulis, tetapi ayat ini hanya menyatakan bahwa dalam keadaan tersebut boleh dilakukan muamalah dengan memakai borg. Dalam keadaan yang lain boleh juga memakai borg sesuai dengan hadis yang diriwayatkan Bukhari bahwa Nabi Muhammad saw. pernah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi di Madinah.

Pada ayat yang lalu Allah swt. memperingatkan bahwa manusia janganlah enggan menjadi juru tulis atau enggan memberikan persaksian bila diminta. Kemudian pada ayat ini Allah menegaskan lagi agar jangan menyembunyikan kesaksian. Penegasan yang demikian mengisyaratkan bahwa penulisan dan kesaksian itu menolong manusia dalam menjaga hartanya, dan janganlah lengah melakukannya, demikian pula janganlah hendaknya pemilik harta disusahkan karena meminjamkan hartanya, dan tidak dibayar pada waktunya.
Firman Allah swt.:

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, (karena) sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya. (Q.S Al Isra': 36)
Dengan keterangan di atas bukanlah berarti bahwa semua perjanjian muamalah wajib ditulis juru tulis dan disaksikan oleh saksi-saksi, tetapi maksudnya agar kaum muslimin selalu memikirkan dan meneliti terhadap muamalah yang akan dilakukannya.

Bila muamalah itu muamalah yang dilakukan setiap hari, seperti jual beli yang dilakukan di pasar sehari-hari dan tidak menimbulkan akibat yang tidak diingini di kemudian hari serta dilandasi percaya-mempercayai, maka muamalah yang demikian tidak perlu ditulis dan disaksikan. Sebaliknya bila muamalah itu diduga akan menimbulkan hal-hal yang tidak diingini di kemudian hari, maka muamalah itu wajib ditulis dan disaksikan.
Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “ini merupakan petunjuk dariNya untuk hambaNya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat : “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan”. (Lihat Tafsir Al-Quran Al-Azhim, III/316).
[2]. Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang.
Kaidah fikih berbunyi : “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan. Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama. Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan mencari kompensasi atau keuntungan. (Lihat Al-Fatawa Al-Kubra III/146,147)
Dengan dasar itu, berarti pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun rentenir di masa sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. sehingga bisa terkena ancaman keras baik di dunia maupun di akhirat dari Allah ta’ala.
Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan “saya beri anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan. (Lihat Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, II/51).
[3]. Kebaikan sepantasnya dibalas dengan kebaikan
Dari Abu Hurairah t, ia berkata: “Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu.orang itupun datang menagihnya.

(Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata : “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah I membalas dengan setimpal”. Maka Nabi r bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”.( HR. Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305)
Dari Jabir bin Abdullah ia berkata: “Aku mendatangi Nabi swt di masjid, sedangkan beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya”. (HR. Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2394)
[4.] Berhutang dengan niat tidak akan melunasinya
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Nabi r bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah swt akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka Allah swt akan membinasakannya”. (HR. Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387)
Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang, karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi diatas. Berapa banyak orang yang berhutang dengan niat dan tekad untuk menunaikannya, sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang bertekad pada dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka Allah I membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut.
 Allah swt melelahkan badannya dalam mencari, tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena memikirkan hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana dengan akhirat yang kekal nan abadi?
[5]. Tidak boleh melakukan jual beli yang disertai dengan hutang atau peminjaman
Mayoritas ulama menganggap perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan syarat dalam pinjaman agar pihak yang berhutang menjual sesuatu miliknya, membeli, menyewakan atau menyewa dari orang yang menghutanginya. Dasarnya adalah sabda Nabi: “Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu Daud no.3504, At-Tirmidzi no.1234, An-Nasa’I VII/288. Dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”).
Yakni agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil bunga yang diharamkan.
[6]. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman.

Karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
[7]. Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.
Rasulullah saw  bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya”. (HR. Abu Dawud dalam  Kitab Al-Buyu’, Tirmidzi dalam kitab Al-buyu’, dan selainnya).
[8]. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya.
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: (Ayahku) Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi Muhammad saw meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau r berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku.” (Maka) akupun melakukannya. Beliau r pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. (HR. Bukhari kitab Al-Istiqradh, no. 2405).
[9]. Bersegera melunasi hutang
Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim. Sebagaimana sabda Nabi muhammad saw: “Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman”. (HR. Bukhari no. 2400, akan tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab Al-Aqdhiah, no. 3628 dan Ibnu Majah, bab Al-Habs fiddin wal Mulazamah, no. 2427).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, telah bersabda Rasulullah : “Sekalipun aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku tidak akan senang jika tersisa lebih dari tiga hari, kecuali yang aku sisihkan untuk pembayaran hutang”. (HR Bukhari no. 2390)
 [10]. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo.


Allah swt berfirman: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).
Diriwayatkan dari Abul Yusr, seorang sahabat Nabi, ia berkata, Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang ingin dinaungi Allah dengan naungan-Nya (pada hari kiamat, pent), maka hendaklah ia menangguhkan waktu pelunasan hutang bagi orang yang sedang kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan hutangnya.” (Shahih Ibnu Majah no. 1963)
Ayat ini merupakan lanjutan ayat yang sebelumnya. Ayat yang lalu memerintahkan agar orang yang beriman menghentikan perbuatan riba setelah turun ayat di atas. Para pemberi utang menerima kembali pokok yang dipinjamkannya. Maka ayat ini menerangkan: Jika pihak yang berutang itu dalam kesukaran berilah dia tempo, hingga dia sanggup membayar utangnya. Sebaliknya bila yang berutang dalam keadaan lapang, ia wajib segera membayar utangnya.
Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
Penundaan pembayaran utang oleh orang kaya adalah perbuatan zalim.
(HR Bukhari dan Muslim)
Dalam pada itu Allah swt. menyatakan bahwa memberi sedekah kepada orang yang berutang yang tidak sanggup membayar utangnya adalah lebih baik. Jika orang-orang yang beriman telah mengetahui perintah itu, hendaklah mereka melaksanakannya.
Dari ayat ini dipahami juga bahwa:
1.Allah swt. memerintahkan agar memberi sedekah kepada orang yang berutang, yang tidak sanggup membayar utangnya.
2.Orang yang berpiutang wajib memberi tangguh kepada orang yang berutang bila mereka dalam kesulitan.
3.Bila seseorang mempunyai piutang pada seseorang yang tidak sanggup membayar utangnya diusahakan agar orang itu bebas dari utangnya dengan jalan membebaskan dari pembayaran utangnya baik sebahagian maupun seluruhnya atau dengan jalan yang lain yang baik.

tafsir surat ai baqarah 280
(Dan jika dia), yakni orang yang berutang itu (dalam kesulitan, maka hendaklah diberi tangguh) maksudnya hendaklah kamu undurkan pembayarannya (sampai dia berkelapangan) dibaca 'maisarah' atau 'maisurah'. (Dan jika kamu menyedekahkannya), dibaca dengan tasydid, yakni setelah mengidgamkan ta pada asalnya pada shad menjadi 'tashshaddaqu',


juga tanpa tasydid hingga dibaca 'tashaddaqu', yakni telah dibuang ta, sedangkan artinya ialah mengeluarkan sedekah kepada orang yang sedang dalam kesusahan itu dengan jalan membebaskannya dari utang, baik sebagian maupun keseluruhan (itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui) bahwa demikian itu baik, maka kerjakanlah! Dalam sebuah hadis disebutkan, "Barang siapa yang memberi tangguh orang yang dalam kesusahan atau membebaskannya dari utang, maka Allah akan melindunginya dalam naungan-Nya, di hari saat tak ada naungan selain naungan-Nya." (H.R. Muslim)
Demikian penjelasan singkat tentang beberapa adab Islami dalam hutang piutang. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Dan semoga Allah menganugerahkan kepada kita semua rezki yang lapang, halal dan berkah, serta terbebas dari lilitan hutang. Amin.

0 Response to "MAKALAH HUTANG PIUTANG DAN PINJAM MEMINJAM"

Post a Comment

SITEMAP

Contak Us