BAB I
PENDAHULUAN
Di
antara jalan-jalan kebaikan yang Allah sediakan bagi manusia yaitu dengan
bersedekah di jalan-Nya dengan harta
maupun jasa yang ia miliki. Sedekah dalam agama Islam sangat dianjurkan
sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Imron ayat 92:
Artinya:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu
menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu
nafkahkanmaka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Dalam
Islam, sedekah ada dua, yaitu sedekah wajib dan sedekah sunnah. Di antara
sedekah sunnah adalah wasiat yang tentunya
mempunyai ketentuan. Wasiat yang merupakan bentuk sedekah memang
akhir-akhir ini jarang diperbincangkan dalam masyarakat, padahal merupakan hal
tentu bagi kita umat Islam untuk mengetahui terlebih mengamalkan hukum Islam
itu sendiri. Dengan pemahaman yang sedang-sedang saja tentu akan menghambat
kita dalam mengaplikasikan hukum Islam tersebut. Terlebih persoalan wasiat.
Maka
penulis pada kesempatan ini ingin berbagi pengetahuan tentang Konsep Wasiat dan
Ketentuan-Ketentuannya melalui Risalah ini yang notabene pada waktu-waktu ini
permasalahan wasiat kurang diperhatikan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Hukum Wasiat
Kata
wasiat berasal dari bahasa Arab yang artinya pesan. Sedangkan menurut istilah
artinya sesuatu pesan khusus tentang suatu kebaikan yang kan dilaksanakan
setelah seorang yang berwasiat meninggal dunia.[1][2] Adapun pengertian
wasiat pada pembahasan ini tidak hanya pesan-pesan yang berkaitan dengan harta
saja, melainkan juga yang terkait tentang hak.[2][3] Misal yang berkaitan dengan harta, sebelum
meninggal dunia seseorang berwasiat agar sebagian hartanya diberikan kepada
anak angkatnya. Sebagai contoh yang berkaitan dengan hak, seperti mengurus sesuatu
setelah sepeninggalnya seperti contoh sebelum meninggal ia berwasiat untuk
kepada seseorang untuk mengurusi anak-anaknya. Diantara bentuk wasiat untuk
mengurusi sesuatu adalah apa yang telah dilakukan oleh Amirul Mukminin, ‘Umar
Ibu Khottob RA. Ketika menentukan bahwa kekhalifahan setelahnya ditunjuk
melalui musyawarah antara enam sahabat Rasulullah SAW..[3][4] Wasiat dalam pembagian
harta peninggalan ini hanya berlaku kepada orang lain bukan kepada ahli
warisnya.
Pada
permulaan Islam, hukum berwasiat terhadap kerabat dekat hukumnya wajib
sebagaiman firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 180:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ
الْمَوْتُ إنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّة لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِيْنَ
بِالْمَعْرُوْفِ حَقَّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ
Artinya:
“diwajibkan atas kamu apabila seseorang diantar kamu kedatangan maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk bapak, ibu dan karib
kerabatnya secara ma’ruf, ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.”
(QS. Al-Baqarah: 180)[4][5]
Namun
dengan turunnya ayat-ayat maupun dalil-dalil tentang warisan, hukum wajib yang
terkandung dalam ayat tersebut diatas menjadi mansukh (terhapus).[5][6] Sehingga hukumnya
berubah menjadi sunnah yaitu dalam sepertiga harta peninggalan mayyit dan
diberikan kepada selain ahli waris.[6][7]
Hukum
wasiat bila ditinjau dari segi cara maupun obyeknya adakalanya:
1.
Wajib, dalam hal ini yang berhubungan dengan hak Allah seperti zakat, fidyah
puasa dan lain-lain yang merupakan hutang yang wajib ditunaikan.
2.
Sunnah, apabila berwasiat kepada selain kerabat dekat dengan tujuan
kemaslahatan dan untuk mengharapkan ridlo Allah SWT.
3.
Makruh apabila hartanya sedikit tetapi ahli warisnya banyak, serta keadaan
mereka sangat memerlukan harta warisan tersebut untuk digunakan sebagai
penunjang kehidupannya.
4.
Haram apabila harta yang diwasiatkan untuk tujuan yang dilarang oleh agama.
Misalnya seseorang berwasiat kepada fulan untuk membangun tempat perjudian atau
perzinahan.[7][8]
B.
Rukun dan Syarat Wasiat
Dalam
ibadah, tentunya untuk mencapai tingkat sahnya ibadah tersebut harus terpenuhu
rukun maupun syarat dari ibadah tersebut. Adapun rukun wasiat yaitu:
1.
Orang yang menerima wasiat (Al-Musho Lah)
2.
Barang yang diwasiatkan ( Al-Musho Bih)
3.
Ijab Qabul (Shighat)
4.
Orang yang berwasiat ( Al-Mushi)[8][9]
Adapun
syarat-syarat yang harus terpenuhi yaitu:
1.
Orang yang berwasiat (Al-Mushi) syaratnya harus taklif (Islam, baligh dan
berakal sehat), merdeka dan kehendak sendiri. Maka selain dari yang tersebut,
tidak sah melaksanakan wasiat.[9][10]
2.
Orang yang menerima wasiat (Al-Musho Lah), syarat pertama yaitu harus beragama
Islam. Maka tidak sah orang Islam memberikan wasiat terhadap orang kafir.
Kedua, baligh, maka tidak bisa anak kecil melakukan wasiat, karena mereka belum
merupakan ahlulwilayah. Ketiga berakal sehat, maka orang gila juga tidak
sah melakukan wasiat. Keempat, amanah (dapat dipercaya), dan kelima merdeka,
karena budak itu dihukumi naqish (kurang) dalam masalah
kepemilikan dan seorang budak terlalu sibuk untuk melayani perintah sayyid.[10][11] Adapun ahli waris pada
hakikatnya tidak boleh menerima wasiat, namun ketika ahli waris menghendaki
untu menerimanya maka diperbolehkan, seperti yang tertera dalam hadits Nabi
yang diriwayatkan oleh Imam Ad-Daruquthni:
لَاتَجُوْزُ
الْوَصِيَّةُ لِوَارِثٍ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ الْوَرَثَةُ
Yang
artinya: “tidak diperbolehkan wasiat kepada ahli waris kecuali dikehendaki
oleh ahli waris yang lain”.
3.
Barang yang diwasiatkan (Al-Musho Bih), syaratnya tidak boleh melebihi 1/3 dari
keseluruhan harta peninggalan, harta tersebut dapat memberikan manfaat, dapat
berpindah milik dari satu orang kepada orang lain dan harus ada ketika diucapkan serta tidak
bertentangan dengan syara’.
4.
Ijab Qabul (Shighat) syaratnya kalimatnya bisa dipahami atau dimengerti, baik
lewat tulisan maupun ucapan. Seperti dengan ucapan “saya wasiatkan harta ini
kepada fulan…” Penerimaan wasiat-wasiat diucapkan setelah orang yang
berwasiat itu meninggal.[11][12]
C.
Permasalahan dalam Wasiat
1.
Kadar Wasiat
Batas
maksimal dalam memberikan wasiat adalah sepertiga dari harta peninggalan, tidak
boleh melebihi kecuali apabila diizinkan oleh ahli warisnya sesudah
meninggalnya orang yang berwasiat sebagaimana sabda Rosulullah SAW:
إِنَّ اللهَ تَصَدَّقَ عَلَيْكُمْ
بِثُلُثِ أَمْوَالِكُمْ عِنْدَ وَفَاتِكُمْ زِيَادَةً فِي حَسَنَاتِكُمْ
Artinya:
“sesungguhnya Allah menganjurkan untuk bersedekah atasmu dengan sepertiga
harta pusaka kamu, ketika menjelang wafatnya, sebagai tambahan kebaikanmu” (H.R. Daruquthni)
2.
Hukum mengembalikan wasiat
Orang
yang telah menerima wasiat, maka tidak boleh mengembalikan wasiatnya tersebut
karena wasiat tersebut telah menjadi miliknya. Namun, jika ahli waris
menerimanya yakni menerima barang pengembalian
wasiat, maka status barang tersebut berubah menjadi barang hibah yang diberikan oleh orang yang
menerima wasiat kepada ahli waris.[12][13]
3.
Hukum penarikan wasiat oleh pemberi wasiat
Namun
bagi orang yang akan berwasiat boleh menarik kembali wasiatnya tersebut. Sebab,
wasiat adalah jenis derma yang berkaitan dengan meninggalnya orang yang
berwasiat. Sehingga, sebelum meninggal, ia boleh menarik kembali wasiatnya
tersebut. Seperti contoh, seseorang mewasiatkan rumahnya untuk tempat tinggal
bagi orang-orang fakir. Dia mewasiatkannya di jalan Allah SWT. sebagai bentuk
sedekah. Setelah itu, karena ada suatu hal, dia menarik kembali wasiat tersebut
dan berkata: “Aku batalkan wasiatku”, maka hal tersebut diperbolehkan.
D. Al-Isha
1. pengertian
Isha adalah memberikan kuasa kepada
seseorang untuk melaksanakan sesuatu yang akan dilaksanakan sesudah yang
memberikan kuasa meninggal dunia. Dengan kata lain Isha adalah washiat yang
berkaitan dengan hal kekuasaan dan tanggung jawab bukan berkaitan dengan harta.
Isha pada hakikatnya sama dengan wasiat, hanya saja tidak menyangkut dengan harta peninggalannya, tetapi wasiat dalam bentuk tangguing jawab. Misalnya Umar berkata pada Amir, “Aku jadikan engkau sebagai washiku untuk membayar hutangku”. Washi artinya orang yang diberi kuasa melaksanakan suatu pesan yang dilakukan setelah orang yang berpesan itu meninggal dunia.[13][14]
Isha pada hakikatnya sama dengan wasiat, hanya saja tidak menyangkut dengan harta peninggalannya, tetapi wasiat dalam bentuk tangguing jawab. Misalnya Umar berkata pada Amir, “Aku jadikan engkau sebagai washiku untuk membayar hutangku”. Washi artinya orang yang diberi kuasa melaksanakan suatu pesan yang dilakukan setelah orang yang berpesan itu meninggal dunia.[13][14]
2. Hukum Isha
a.
Wajib,
bila tidak dapat terlaksana sesuatu kewajiban jika tidak mengangkat
washi
washi
b.
Sunnah,
bila untuk tujuan kebaikan dan kemaslahatan
c.
Makru,
bila dikhawatirkan mkemudharatan
d.
Haram,
bila untuk tujuan kejahatan
3. Rukun Isha
a.
Orang
yang mengangkat washi
b.
Orang
yang menjadi washi
c.
Sesuatu
yang menjadi urusan washi
d.
Ucapan
pengangkatan washi
4. Syarat-Syarat Isha
Ø Syarat orang yang mengangkat washia
adalah :
1.
Baligh
2.
Berakal
sehat
3.
Merdeka
4.
Atas
kemauan sendiri
5.
Dilakukan
sesuai kemampuannya
Ø Syarat orang yang menjadi washi
adalah :
1.
Baligh
2.
Islam
3.
Berakal
sehat
4.
Merdeka
5.
Adil
6.
Sanggup
melaksanakan tugas yang diberikan dan
7.
Tidak
ada permusuhan dengan orang yang mengangkat washi
Ø Syarat urusan yang diberikan adalah
:
1.
Tidak
menjadi beban bagi washi sehingga tidak menimbulkan kemadharatan
atau kesukaran
atau kesukaran
2.
Masalah
yang dikuasakan tidak bertentangan atau dilarang oleh agama
ucapan pengangkatan washi adalah:
ucapan pengangkatan washi adalah:
Ø Syarat
1.
Menyatakan
maksud pengangkatan washi
2.
Jelas
dan dapat dipahami.
BAB III
PENUTUP
Dari
pembahasan tersebut diatas tentu kita dapat mengetahui bahwa wasiat merupakan
pesan seseorang kepada orang lain baik berkaitan dengan harta peninggalan
maupun tanggungjawab untuk bisa dilaksanakan setelah pemberi wasiat meninggal
dunia. Adapun hukum dari wasiat sendiri fleksibel atau lentur, yaitu dengan
melihat situasi dan kondisi yang ada di lingkungan wasiat itu sendiri. Dan yang
jelas dengan pengetahuan mengenai wasiat yang notabene merupakan bagian
sedekah, kita akan lebih mudah dalam mengaplikasikan dalam kehidupan kita
sehari-hari.
Saya
selaku penulis, tentu banyak kesalahan dalam penulisan maupun pemahaman, mohon
bagi pembaca untuk dapat memberi masukan kepada saya demi untuk memperbaiki
kekurangan dan mencapai sebuah kebenaran, terimakasih.
[2][3] Abu Hudzaifah, Panduan Wakaf, Hibah dan Wasiat
(terjemah Asy-Syarh Al-Mumta’), (Jakarta, Pustaka Imam Asy-Syafi’i: TT) hal. 230
[12][13] Abu Hudzaifah, Panduan Wakaf, Hibah dan Wasiat (terjemah
Asy-Syarh Al-Mumta’), (Jakarta,
Pustaka Imam Asy-Syafi’i: TT) hal.
230
[13][14] Drs. Moh. Saifulloh Al-Azis, S., Fiqh Islam Lengkap
(Surabaya, Terbit Terang, TT) hal .
432
0 Response to "MAKALAH WASHIAT DAN ISHA"
Post a Comment