A. Warisan
untuk anak Zina
Hasanay Muhammad Makluf membuat
terminology anak zina sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat hubungan
suami isteri yang tidak sah.
Hubungan suami isteri yang tidak sah
sebagaimana dimaksud adalah hubungan badan (senggama/wathi’) antara dua orang
yang tidak terikat tali pernikahan yang memenuhi unsur rukun dan syarat nikah
yang telah ditentukan.
Selain itu, hubungan suami isteri
yang tidak sah tersebut dapat terjadi atas dasar suka sama suka ataupun karena
perkosaan, baik yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah ataupun belum
menikah. Meskipun istilah “anak zina” merupakan istilah yang populer dan
melekat dalam kehidupan masyarakat, namun Kompilasi Hukum Islam tidak
mengadopsi istilah tersebut untuk dijadikan sebagai istilah khusus didalamnya.
Hal tersebut bertujuan agar “anak”
sebagai hasil hubungan zina, tidak dijadikan sasaran hukuman sosial, celaan
masyarakat dan lain sebagainya, dengan menyandangkan dosa besar (berzina) ibu
kandungnya dan ayah alami (genetik) anak tersebut kepada dirinya, sekaligus
untuk menunjukan identitas islam tidak mengenal adanya dosa warisan. Untuk
lebih mendekatkan makna yang demikian , Pasal 44 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974
hanya bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan kelahiran
anak itu akibat dari perbuatan zina tersebut.
Dalam Kompilasi Hukum Islam kalimat
yang mempunyai makna “anak zina” sebagaimana defenisi yang dikemukakan oleh
Hasanayn diatas, adalah “anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah” sebagaimana
yang terdapat pada Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”
Semakna dengan ketentuan tersebut,
Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam menyatakan :
“anak
yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan
ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”
Berdasarkan defenisi dan pendekatan
makna “anak zina” di atas, maka yang dimaksudkan dengan “anak zina” dalam
pembahasan ini adalah anak yang janin/pembuahannya merupakan akibat dari
perbuatan zina, ataupun anak yang dilahirkan diluar perkawinan, sebagai akibat
dari perbuatan zina.
Pendekatan istilah “anak zina”
sebagai “anak yang lahir di luar perkawinan yang sah”berbeda dengan pengertian
anak zina yang dikenal dalam Hukum Perdata umum, sebab dalam perdata umum,
istilah anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan dua orang,
laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri, dimana salah seorang atau
keduanya terikat tali perkawinan dengan orang lain. Karena itu anak diluar
nikah yang dimaksud dalam hukum perdata umum adalah anak yang dibenihkan dan
dilahirkan diluar perkawinan dan istilah lain yang tidak diartikan sebagai anak
zina.
Perbedaan anak zina dengan anak luar
kawin menurut Hukum Perdata adalah :
- Apabila orang tua anak tersebut salah satu atau keduanya masih terikat dengan perkawinan lain, kemudian mereka melakukan hubungan seksual dan melahirkan anak, maka anak tersebut adalah anak zina.
- Apabila orang tua anak tersebut tidak terikat perkawinan lain (jejaka,perawan,duda,janda) mereka melakukan hubungan seksual dan melahirkan anak, maka anak tersebut adalah anak luar kawin.
Dengan demikian sejalan dengan Pasal
43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang rumusannya sama dengan Pasal 100 KHI,
adalah : “anak yang lahir di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”
Yang termasuk anak yang lahir di
luar perkawinan adalah :
- Anak yang dilahirkan oleh wanita yang tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menghamilinya.
- Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat korban perkosaan oleh satu orang pria atau lebih.
- Anak yang dilahirkan oleh wanita yang di li’an (diingkari) oleh suaminya.
- Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat salah orang (salah sangka) disangka suaminya ternyata bukan.
- Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat pernikahan yang diharamkan seperti menikah dengan saudara kandung atau sepersusuan.
Angka 4 dan 5 diatas dalam hukum
Islam disebut anak Subhat yang apabila diakui oleh bapak subhatnya, nasabnya
dapat dihubungkan kepadanya.
Hak – Hak Waris
Sebagai akibat lanjut dari hubungan
nasab seperti yang dikemukakan, maka anak tersebut hanya mempunyai hubungan waris-mewarisi
dengan ibunya dan keluarga ibunya saja, sebagaimana yang ditegaskan pada Pasal
186 Kompilasi Hukum Islam : “ anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai
hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarganya dari pihak ibunya”.
Dengan demikian, maka anak tersebut secara hukum tidak mempunyai hubungan hukum
saling mewarisi dengan ayah/bapak alami (genetiknya).
B. Warisan Anak dalam Kandungan
Arti Kandungan
(hamlu) adalah anak yang dikandung di
perut ibunya. Kandungan itu adakalanya sudah lahir dari perut ibu, dan
adakalanya masih dalam perut ibunya saat ada anggota keluarganya yang meninggal
dunia. Dalam kaitannya dengan perolehan hak waris, masing-masing dari dua
keadaan ini mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda-beda.
1. Kandungan Yang Dilahirkan
- Apabila dia lahir dalam keadaan hidup, maka dia mewarisi dari dan diwarisi oleh orang lain; karena adanya riwayat dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda: "Apabila anak yang dilahirkan itu menangis, maka dia diberi warisan." Istihlaal artinya jeritan tangis bayi; maksudnya ialah bila nyata kehidupan anak yang lahir itu, maka dia diberi warisan. Tandanya hidup ialah suara, nafas, bersin atau serupa itu. Ini adalah pendapat Ats-Tsauri, Al-Auza'i, Asy-Syafi'i dan sahabat-sahabat Abu hanifah.
- Apabila kandungan itu lahir dalam keadaan mati bukan karena tindak pidana
terhadap
ibunya, menurut kesepakatan dia tidak
mewarisi dan tidak pula diwarisi.
- Apabila dia lahir dalam keadaan mati disebabkan tindak pidana terhadap ibunya, maka dia tetap mewarisi dan diwarisi (Pendapat orang-orang Hanafi).
- Dalam keadaan demikian, dia tidak mewarisi sedikitpun, akan tetapi dia mendapatkan gnti rugi saja karena darurat. Ganti rugi itu diwarisi oleh setiap orang yang berhak mendapat warisan darinya. (Pendapat aliran Syafi'i, Hambali dan malik).
2. Kandungan Yang Masih Dalam Perut
1. kandungan yang masih berada dalam perut ibu itu tidak bisa menahan sebagian harta peninggalan, bila dia bukan perawis atau terhalang oleh orang lain dalam segala keadaan.
2. Semua harta peninggalan ditahan sampai kandungan dilahirkan, bila dia pewaris dan ada seorang perwaris tetapi terhalang olehnya, Demikian kesepakatan para fuqaha (para ahli fikih). Demikian pula semua harta peninggalan ditahan bila bersamanya terdapat ahli waris yang tidak terhalang, akan tetapi mereka semua merelakan baik secara terang-terangan ataupun tersembunyi, untuk tidak membagi warisan secara segera, misalnya mereka diam saja atau tidak menuntutnya.
3. Setiap ahli waris yang mempunyai fardh (bagian) tidak berubah dengan berubahnya kandungan, maka dia mendapatkan bagiannya secara sempurna, dan sisanya ditahan.
4. Pewaris yang gugur dengan salah satu dari dua keadaan kandungan dan tidak gugur dengan keadaan lain, tidak diberi bagian sedikitpun karena hak kewarisannya itu meragukan. Maka barang siapa yang mati sedang dia meninggalkan seorang isteri yang hamil dan seorang saudara laki-laki, maka saudara laki-laki itu tidak mendapatkan sesuatu, sebab mungkin kandungan yang akan lahir itu laki-laki (kalau bayi lahir laki-laki, saudara laki-laki terhalang mendapatkan waris-Pen). Inilah madzhab jumhur (mayoritas).
5. Ashhabul furudh (ahli waris yang mempunyai bagian tertentu) yang bagiannya berubah karena kandungan yang akan dilahirkan itu laki-laki atau perempuan, disiapkan bagian yang minimal dan maksimal dari kedua kemungkinan di atas kemudian ditahan sampai dia lahir. Bila kandungan yang dilahirkan hidup, maka diberikan bagian sesuai dengan kedudukannya dalam ilmu fara'idh, tetapi apabila kandungan yang dilahirkan itu mati, maka dia (si bayi) tidak berhak sedikitpun; dan semua harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris tanpa memperhatikan kandungan itu.
Batas Waktu Maksimal dan Minimal Bagi Kandungan
- Batas waktu minimal terbentuknya janin dan dilahirkan dalam keadaan hidup adalah 6 (enam) bulan, karena Allah berfirman : Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan... (Q.S. Al-Ahqaaf: 15). Dan firman-Nya Artinya : ...Dan menyapihnya dalam dua tahun ... (Q.S. Luqman: 14). Apabila menyapihnya dua tahun, maka tidak ada sisa lagi selain enam bulan untuk mengandung. Inilah pendapat yang dianut oleh jumhur fuqaha (mayoritas ahli fiqih).
- Batas waktu minimal dari kandungan itu sembilan bulan (Pendapat sebagian orang-orang Hambali).
- Undang-undang warisan Mesir bertentangan dengan pendapat jumhur ulama dan mengambil pendapat dari sebagian orang -orang Hambali dan pendapat para dokter resmi, yaitu bahwa batas minimal dari kandungan ialah sembilan bulan Qamariyah yakni 270 hari, karena yang demikian itu sesuai dengan apa yang banyak sekali terjadi. Wallahu a'lam.
C.
Orang Yang
Hilang
Jika
perkara orang yang hilang dimintakan kepastiannya, dan hakim telah menetapkan
kematiannya, maka yang demikian itu disebut mafquud. Ketetapan hakim itu
ada kalanya berdasarkan dalil/keterangan yang meyakinkan, seperti kesaksian
orang yang adil, disertai bukti-bukti, dll. maka kematiannya itu pasti dan tetap, sejak adanya keputusan mengenai
kematiannya. Tetapi ada kalanya hakim memutuskan berdasarkan tanda-tanda yang
tidak pantas untuk menjadi dalil, maka kematiannya itu adalah kematian secara hukum, karena dia
mungkin masih hidup.
Batas
Waktu Menetapkan Kematian Orang Yang Hilang
Para
fuqaha berselisih pendapat tentang batas waktu untuk menetapkan kematian mafquud.
1.
Diriwayatkan dari Malik bahwa dia berkata: "Empat tahun." karena Umar r.a.
berkata: " Setiap isteri yang ditinggalkan pergi oleh suaminya, sedang dia
tidak mengetahui di mana suaminya, maka dia menunggu empat tahun, kemudian dia
ber'iddah selama empat bulan sepuluh hari, kemudian lepaslah dia." (H.R.Bukhari dan Asy-Syafi'i).
2.
Riwayat yang masyhur dari Abu Hanifah, Asy-Syafi'i dan Malik ialah tidak adanya ketentuan batas waktu; akan tetapi hal
itu diserahkan kepada ijtihad hakim di setiap masa.
3.
Imam Ahmad berpendapat bahwa apabila dia pergi
ke tempat yang memungkinkan untuk mati (seperti orang yan hilang di medan
perang atau sesudah serangan, atau orang yang hilang di antara keluarganya,
misalnya pergi untuk shalat 'Isya akan tetapi dia tidak kembali, atau pergi
untuk urusan yang dekat akan tetapi dia tidak kembali dan tidak diketahui
kabar beritanya lagi) di situ, maka sesudah diselidiki dengan teliti ditetapkan
kematiannya dengan berlalunya waktu empat
tahun, karena galibnya dia sudah mati. Yang demikian itu serupa dengan
berlalunya masa yang tidak mungkin dia hidup dalam masa seperti itu. Tetapi
apabila kepergiannya ke tempat yang memungkinkan dia selamat (Misalnya
orang yang bepergian untuk haji atau menuntut ilmu atau berniaga ) maka
urusannya diserahkan kepada hakim untuk menetapkan kematiannya sesudah batas
waktu yang ditetapkannya dan sesudah penyelidikan mengenai dirinya dengan
segala media yang memungkinkan mengabarkan keadaan dirinya masih hidup atau
sudah meninggal dunia.
Urusan Warisannya
·
Dalam keadaan orang
yang mewariskan, maka hartanya tetap menjadi miliknya dan tidak
dibagikan diantara ahli warisnya sampai nyata kematiannya atau hakim menetapkan
kematiannya. Apabila ternyata dia masih hidup, maka dia mengambil hartanya. Dan
bila dia sudah mati, atau hakim menetapkan kematiannya, maka dia diwarisi oleh
orang yang menjadi pewarisnya pada waktu dia mati atau waktu hakim menetapkan
kematiannya.
·
Dalam keadaan dia
menjadi pewaris dari orang lain, maka bagiannya dari harta peninggalan
orang yang mewariskan itu ditahan. Dan sesudah ditetapkan kematiannya, harta
yang diwakafkan itu dikembalikan kepada perawis dari orang yang mewariskan
lainnya.
A.
Kewarisan Orang yang Mati Bersama
Dalam hal waris terjadinya hubungan kewarisan antara dua orang yang mempunyai hubungan kerabat atau perkawinan itu ialah bila keduanya mati dalam waktu berbeda. Yang terdahulu mati disebut pewaris dan yang mati kemudian disebut ahli waris . Hal seperti sudah lumrah dan jelas hukumnya, yaitu orang yang mati kedua, dapat mewarisi harta waris orang yang pertama, baik sendirian atau bersama. Setelah orang yang kedua meninggal, harta warisannya berpindah kepada ahli waris selanjutnya, begitu seterusnya. Jadi, apabila ada dua orang bersaudara tenggelam dan salah seorang mati lebih dahulu, sedangkan yang lainnya beberapa saat kemudian, saudara yang terakhir mati berhak mendapat warisan orang yang mati lebih dahulu, walaupun tenggang waktunya hanya sekejap. Hal tersebut karena syarat-syarat kewarisan telah terpenuhi, yaitu ahli warisnya benar-benar hidup setelah muwarist-nya meninggal dunia . Ada suatu masalah yang bakal mencuat, yaitu keadaan dimana tanggal atau waktu kematian tidak diketahui. Dan ini terjadi terhadap dua orang yang mempunyai hubungan kerabat. Dalam menentukan kewarisan orang yang mati bersama ini para ulama tidak dapat memastikan apakah keduanya mati secara bersamaan atau bergantian. Seandainya mungkin mati bergantian tidak dapat diketahui mana yang dahulu dan mana yang kemudian. Inilah yang menimbulkan masalah dan para ulama juga berbeda pendapat dalam menentukan hak kewarisannya . B. Pendapat Ulama Fiqh Tentang Kewarisan Orang yang Mati Bersama Dalam kasus kewarisan orang yang mati bersama ini para ulama fiqh mengatakan “Tidak boleh saling mewarisi di antara orang-orang yang sama-sama mati tenggelam dan orang-orang yang sama-sama mati tertimpa bencana, dan tidak boleh saling mewarisi diantara para ahli waris yang ditimpa malapetaka”. Pendapat ini dikemukakan oleh Jumhur, atas dasar hadist yang diriwayatkan oleh Kharijah bin Zaid bin Tsabit dan ayahnya mengatakan “Abu Bakar ash-Shiddiq r.a telah memerintahkan kepadaku untuk membagikan harta peninggalan para korban perang yamamah. Kemudian aku membagikan harta peninggalan kepada keluarga-keluarga si korban yang masih hidup dan aku tidak membagikan harta peninggalan kepada para korban itu sendiri satu sama lain. Dan aku diperintah oleh Umar r.a untuk membagikan harta peninggalan para korban penyakit tha’un amwas (wabah besar) di mana saat itu qabilah mati karenanya. Kemudian aku membagikan harta peniggalan kepada keluarga-keluarga si korban yang masih hidup, dan aku tidak membagikan harta peninggalan kepada para korban itu sendiri satu sama lain”. Alasan yang menjadi penyebab mereka tidak saling mewarisi karena syarat-syarat waris (Siapa muwaris dan siapa ahli waris) tidak jelas. Dengan demikian, masing-masing harta warisan mereka diberikan kepada masing-masing ahli waris nya yang masih hidup. Salah seorang di antara mereka tidak boleh saling mewarisi satu sama lain. Dikatakan dalam kitab Rahbiyyah bahwa, apabila suatu kaum mati ditimpa bencana, atau tenggelam atau malapetaka lainnya yang biasa terjadi, seperti kebakaran, dan tidak diketahui siapa diantara mereka yang meninggal terlebih dahulu, di antara mereka yang binasa itu tidak boleh saling mewarisi dan mereka dianggap sebagai bukan keluarga. Sebuah contoh: “ Dua orang bersaudara mati bersama dan salah seorang diantara keduanya meninggalkan istri, seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki dari paman sekandung. Adapun saudaranya yang lain meninggalkan dua anak perempuan dan seorang anak laki-laki paman sekandung tersebut. Pembagiannya adalah istri saudara yang pertama diberi 1/8, seorang anak perempuan diberi ½, dan sisanya untuk anak laki-laki paman sekandung dengan jalan ashabah. Adapun dari saudaranya yang kedua, warisan jatuh kepada kedua orang anak perempuanya 2/3 bagian, sedangkan sisanya untuk anak laki-laki dari paman sekandung ” . Dalam kitab al-Qawaid, juga dalam kitab yang lain, di tetapkan bahwa orang yang mati tenggelam, atau tertimpa reruntuhan, dan tidak di ketahui siapa di antara mereka yang mati terlebih dahulu, maka masing-masing mereka mewarisi dari yang lain bila keduanya sama-sama mempunyai harta. Bila seseorang tidak mempunyai harta, maka keduanya tidak saling mewarisi melainkan orang yang berharta, warisannya di serahkan kepada ahli warisnya yang masih hidup. Jelaslah, bahwa keduanya di syaratkan mewarisi hubungan pewarisan. Tetapi Imammiyah mensyaratkan bahwa setiap pihak dari keduanya mewarisi pihak yang lain. Karena itu, bila satu pihak saja yang mewarisi sedangkan pihak yang lain tidak, seperti dua orang bersaudara yang mati bersama-sama karena tenggelam atau tertimpa reruntuhan, di mana yang seorang mewarisi dari yang karena yang lain ini tidak mempunyai anak, sedangkan yang lain ini tidak mewarisinya karena dia mempunyai anak, maka tidak lah terjadi pewarisan antara mereka berdua. Warisan setiap orang dari mereka di serahkan kepada ahli waris masing-masing yang masih hidup. Jika syarat-syarat tersebut terpenuhi. Maka setiap pihak mewarisi setiap harta pihak yang lainyang dimilikinya sebelum ia tenggelam atau tertimpa reruntuhan. Yakni, satu pihak tidak mewarisi dari pihak yang lain apa yang di warisi dari pihak lain itu darinya. Inilah pendapat yang tepat dalam mazhab. Hukum ini, yaitu adanya pewarisan antara orang yang mati secara bersama-sama karena tenggelam atau tertimpa reruntuhan, di sepakati di kalangan mereka. Lalu, apakah di analogikan (di kiaskan) kepada hal itu pula orang-orang yang mati dalam keadaan seperti itu, seperti orang yang mati karena kebakaran atau terbunuh dalam peperangan, dan semisalnya? Mereka berpendapat bahwa orang yang mati tanpa di ketahui siapa di antara mereka yang mati terlebih dahulu, bila kematian itu bersifat wajar atau alami, maka tidak terjadi pewarisan di antara mereka, sebagian ulama mengklaim bahwa pendapat ini merupakan ijma di kalangan mereka, tetapi sebenarnya tidak, melainkan hanya merupakan pendapat mayoritas. Terjadi perbedaan pendapat terhadap orang-orang yang mati karena kebakaran atau karena terbunuh dengan sebab yang lain. Apakah mereka di samakan dengan orang yang mati tenggelam atau tertimpa reruntuhan? Sebagian fuqaha imamiyah menyamakan mereka dengan orang yang mati tenggelam atau tertimpa reruntuhan, tetapi sebagian besar mereka tidak menyamakan. Mereka dianggap seperti orang yang mati biasa(wajar atau alami) yang tidak di ketahui tanggal atau waktu kematiannya. Pokok dalam masalah ini adalah riwayat dari imam Ali ra, dimana beliau di Tanya tentang dua orang yang mati tenggelam atau tertimpa reruntuhan, lalu beliau menjawab bahwa mereka berdua saling mewarisi. Jawaban beliau ini merupakan hujjah yang harus di ikuti dalam hal orang-orang yang mati tenggelam atau tertimpa rerutuhan. Hal ini menurut mereka tidak sesuai dengan prinsip asal. Sebab, perinsip asal menyatakan bahwa untuk terjadinya pewarisan, maka harus ada dengan jelas kehidupan ahli waris pada saat kematian pewaris, baik secara hakiki maupun secara hukum, bila tidak maka tidak ada pula pewarisan di antara mereka berdua. Bila ucapan Imam Ali ra tersebut tidak sesuai dengan prinsip asal, apakah dapat dikiaskan kepadanya kasus lain yang serupa dengannya? Sebagian mereka berpendapat bahwa boleh memberlakukan hukum tersebut pada kasus orang-orang yang mati dalam keadaan seperti itu, seperti kebakaran atau keracunan, sedangkan sebagian yang lain melarang pengkiasan tersebut . Pendapat yang di atas ini, di ikuti oleh Imam bin Hanbal, Iyas, Atha’ dan Ibnu laila, dengan syarat tidak terdapat dakwaan (klaim) dari ahli waris setiap seorang dari mereka berdua yang masih hidup bahwa pewaris merekalah yang mati pertama kali. Tetapi kalau para ahli waris tersebut mengaku-ngaku atau mengklaim tentang siapa yang mati terlebih dahulu tanpa bukti atau dengan bukti tetapi saling tolak oleh masing-masing pihak, maka dalam keadaan seperti ini beliau sependapat dengan pendapat mazhab pertama yang bersumber dari Zaid bin Tsabit r.a.
D. Waris
Khuntsa Musykil
Khuntsa berasal dari kata khanats
atau al-hantsu yang
artinya lembut atau pecah adalah orang
yang diragukan dan tidak diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan, adakalanya
karena dia mempunyai dzakar dan parji atau karena dia tidak mempunyai dzakar
atau parji sama sekali. Secara medis jenis kelamin seorang khuntsa dapat
dibuktikan bahwa pada bagian luar tidak sama dengan bagian dalam, misalnya
jenis kelamin bagian dalam adalah perempuan dan ada rahim, tetapi pada bagian
luar berkelamin lelaki dan memiliki zakar atau memiliki keduanya, ada juga yang
memiliki kelamin bagian dalam lelaki, namun dibagian luar memiliki faraj atau
keduanya. Bahkan ada yang tidak memiliki alat kelamin sama sekali.
Seorang
anak khuntsa yang dapat di tentukan statusnya dengan tidak menimbulkan
kesulitan, disebut dengan khuntsa
ghoirul musykil, adapun jika ia membuang air kecil melewati kedua alat
kelamin yang bersama-sama disebut khunsa
musykil, termasuk juga dalam ketentuan ini seorang khuntsa yang tidak
mempunyai alat kelamin sama sekali, sehingga untuk kepentingan membuang
keperluan air kecil maupun air besar di buat lubang tiruan. Oleh karenanya
segala sesuatu yang berlaku bagi khuntsa
musykil berlaku juga untuknya.
Cara Mengidentifikasi Jenis Kelamin Banci
Kelaki-lakian
dan kewanitannya itu diketahui dengan adanya tanda-tanda lelaki atau perempuan,
sbb.:
1.
Sebelum dia dewasa dapat diketahui dengan cara bagaimana dia kencing. Bila ia kencing
dengan anggota yang khusus bagi laki-laki, maka dia adalah laki-laki; dan bila
dia kencing dengan anggota yang khusus bagi perempuan, maka dia adalah
perempuan.
2.
Bila dia kencing dengan kedua anggotanya, maka ditetapkan dengan anggota yang mana dia kencing lebih
dulu.
3.
Dan setelah dia dewasa, bila dia tumbuh jenggotnya atau menggauli perempuan atau bermimpi seperti
halnya seorang laki-laki bermimpi, maka dia adalah laki-laki. Dan bila muncul
baginya buah dada seperti
halnya buah dada perempuan, maka dia adalah perempuan.
4.
Apabila tidak diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan,
karena tidak munculnya tanda-tanda atau muncul akan tetapi bertentangan, maka
dia dinamakan khuntsa yang musykil (Khuntsa
musykil).
Bagian Waris Khuntsa Musykil
Para
fuqaha berbeda pendapat tentang
hukum warisan bagi khuntsa musykil ini.
·
Dia diberi bagian sebagaimana laki-laki, kemudian diberi
bagian sebagaimana dia perempuan. Oleh sebab itu, maka dia harus diperlakukan
dengan cara yang terbaik dari dua keadaan itu, sehingga seandainya dia mewarisi
menurut satu keadaan dan tidak mewarisi menurut keadaan lain, maka dia tidak
diberi sesuatu. Seandainya dia mewarisi menurut dua keadaan dan bagiannya berbeda,
maka dia diberi yang minimal dari kedua
bagian itu (Ini pendapat Abu
Hanifah)
·
Dia mengambil
pertengahan antara bagian laki-laki dan bagian perempuan. (Pendapat Malik, Abu Yusuf dan Syi'ah Imamiyah).
·
Masing-masing dari ahli waris dan khuntsa diberi yang minimal dari dua keadaan,
sebab dia mengecilkan bagian masing-masing. (Pendapat Asy-Syafi'i).
·
Bila kejelasan keadaan si khuntsa ditunggu, maka
masing-masing dari si khuntsa dan ahli waris mendapatkan bagian terkecil, dan sisanya ditahan dulu. Dan bila
kejelasan urusan si khuntsa tidak ditunggu lagi, maka dia mengambil pertengahan antara bagian laki-laki
dan bagian perempuan. (Pendapat Ahmad).
Inilah pendapat yang terbaik dan
terkuat. Wallahu a'lam.
0 Response to "HUKUM WARIS UNTUK KASUS TERTENTU( ANAK ZINA, ANAK DALAM KANDUNGAN, ORANG YANG MATI BERSAMA DAN ORANG BANCI)"
Post a Comment