KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh
Segala
puji bagi Allah yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini dengan
penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan sanggup
menyelesaikan dengan baik.
Makalah ini
di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari
diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan
terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah
ini memuat tentang Riba
dalam perspektif agama dan sejarah yang sengaja penulis pilih karena menarik perhatian penulis
untuk dicermati dan perlu mendapat dukungan dari semua pihak.
Penyusun
juga mengucapkan terima kasih kepada guru / dosen pembimbing yang telah banyak
membantu penyusun agar dapat menyelesaikan makalah ini.
Semoga
makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun
makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan
kritiknya. Terima kasih.
wssalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh
Penulis
i.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………
i
DAFTAR ISI ……………………………………………… i
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG MASALAH ………………………………
BAB II PEMBAHASAN
A. RIBA DALAM PERSPEKTIF AGAMA
1. Dalam Perspektif Agama Islam.................................................... 1
2. Dalam Agama Yahudi ................................................. 4
3. Dalam Agama Kristen ................................................. 5
4. Dalam Agama Hindu Budha ................................................ 5
B. RIBA DALAN PERSPEKTIF SEJARAH………………………… .. 6
BAB III PENUTUP
A. SIMPULAN
……………………………………………… 13
B. SARAN ………………………………………………. 13
DAFTAR
PUSTAKA ……………………………………………… 14
i
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Istilah dan persepsi mengenai riba
begitu hidupnya di dunia Islam. Masyarakat islam madani yang ideal memiliki karakteristis
yang selalu menonjolkan kehidupan yang berkeadilan sosioekonomi. Keadilan
sosioekonomi akan menjangkau seluruh aspek kehidupannya baik sosial, ekonomi
dan politik. Suatu institusi yang salah tentu akan mempengaruhi institusi yang
lainnya. Bahkan dalam bidang bisnis dan ekonomi, semua harus menyatu dengan
prinsip keadilan sehingga seluruh element akan terdorong untuk bersikap yang
sama bukan malah sebaliknya, menyuarakan ketidak adilan sosioekonomi.
Salah satu ajaran Islam yang paling
esensial dalam menegakkan keadilan dan menghapus segala bentuk eksploitasi
dalam transaksi bisnis adalah dengan melarang semua bentuk peningkatan kekayaan
secara tidak adil (akl amwaalan-naas bil-bathil).
Dalam kehidupan kaum Muslimin yang
semakin sulit ini, memang ada yang tidak memperdulikan lagi masalah halal dan
haramnya bunga bank. Bahkan ada pendapat yang terang-terangan menghalalkannya.
Ini dikarenakan keterlibatan kaum Muslimin dalam sistem kehidupan
Sekularisme-Kapitalisme Barat serta sistem Sosialisme-Atheisme. Bagi yang
masih berpegang teguh kepada hukum Syariat Islam, maka berusaha agar
kehidupannya berdiri di atas keadaan yang bersih dan halal. Namun karena umat
pada masa sekarang adalah umat yang lemah, bodoh, dan tidak mampu
membeda-bedakan antara satu pendapat dengan pendapat lainnya, maka mereka saat
ini menjadi golongan yang paling bingung, diombang-ambing oleh berbagai
pendapat dan pemikiran.
1
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. RIBA DALAM PERSPEKTIF AGAMA
Riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman
saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok,
yang dibebankan kepada peminjam. Riba (الربا) secara bahasa bermakna:
ziyadah(زيادة –tambahan ). Dalam pengertian lain, secara linguistic, riba juga
berarti tumbuh dan membesar. Adapun dalam istilah teknis, riba berarti
pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa
pendapat dalam menjelaskan riba ini, namun secara umum terdapat benang merah
yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi
jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip
mu’amalah dalam islam.
Mengenai hal ini Allah SWT mengingatkan dalam firman-Nya: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan
bathil.” (Q.S. An Nisa: 29).
a.
Dalam Agama Islam
Ø DALIL DALAM AL-QUR’AN:
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al-Baqoroh: 275)
Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan
keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 275 : “…padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….” . Larangan Riba
yang terdapat dalam Al- Qur’an tidak diturunkan sekaligus melainkan diturunkan
dalam empat tahap. Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba
yang pada dzahirnya seolah-olah menolong mereka yang membutuhkan sebagai suatu
perbuatan mendekati atau Taqarrub kepada Allah SWT, yaitu dalam Surat Ar-Rum :39. Tahap kedua, Riba
digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan memberi
balasan yang keras kepada orang yahudi memakan riba, yaitu dalam Surat An-Nisa’ Ayat:161 . Tahap
ketiga, Riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang
berlipat ganda, para Ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan
tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan opada
masa tersebut, yaitu dalam Surat
Ali Imran:130.
2
Tahap Keempat, Allah menjelaskan dengan tegas mengharamkan apapun jenis
tambahan yang diambil dari pinjaman, yaitu dalam Surat Al-Baqarah :279.
Pelarangan riba tidak hanya merujuk pada Al-Qur’an,
melainkan juga Al- Hadist.
Ø DALIL HADITS
عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا
وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.
Dari Jabir berkata: Rasulullah melaknat orang yang memakan
riba, wakilnya, sekretarisnya dan saksinya. (HR. Muslim 4177)
Hal ini sebagai mana posisi umum hadist yang berfungsi untuk
menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui Al-Qur’an. Adapun
pelarang riba dalam hadist lebih terinci. Diantara hadist tersebut adalah
wasiat nabi terakhir pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah,
rasulullah masih menekankan sikap islam yang melarang riba “Ingatlah
bahwa kamu akan menghadap tuhanmu dan dia pasti akan menghitung Amalmu.Allah
telah melarang kamu mengambil riba. Oleh karena itu, utang akibat riba harus
dihapuskan. Modal (uang pokok )kamu adalah hal kamu. Kamu tidak akan menderita
ataupun mengalami ketidak adilan.” Dan hadist-hadist yang lainnya.
Ø Jenis-Jenis Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.
Masing-masing adalah riba hutang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama
terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan kelompok kedua,
riba jual-beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.
1. Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang
disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
2.
Riba Jahiliyyah
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak
mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
3. Riba Fadhl
Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran
yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis
barang ribawi.
3
4. Riba Nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi
yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah
muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan
saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Ø Jenis Barang Ribawi
Para
ahli fiqih Islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dengan
panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan disampaikan
kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang ribawi meliputi:
[
1. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya.
2. Bahan makanan pokok seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan makanan tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
1. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya.
2. Bahan makanan pokok seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan makanan tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
Dalam kaitan dengan perbankan
syariah implikasi ketentuan tukar-menukar antarbarang-barang ribawi dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Jual-beli antara barang-barang
ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang sama. Barang tersebut pun
harus diserahkan saat transaksi jual-beli. Misalnya rupiah dengan rupiah
hendaklah Rp 5.000,00 dengan Rp 5.000,00 dan diserah-kan ketika tukar-menukar.
2. Jual
beli antara barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan
jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang diserahkan pada saat akad
jual-beli. Misalnya Rp 5.000,00 dengan 1 dollar Amerika.
3.
Jual-beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak disyaratkan untuk sama
dalam jumlah maupun untuk diserah-kan pada saat akad. Misalnya mata uang (emas,
perak, atau kertas) dengan pakaian.
4. Jual
beli antara barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa persamaan dan diserahkan
pada waktu akad, misalnya pakaian dengan barang elektronik.
b. Riba dalam Yahudi
Dalam konsep Yahudi, mereka
melarang praktek pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab
suci agama Yahudi, baik dalam Perjanjian Lama maupun undang-undang Talmud.
4
·
Kitab
Exodus Keluaran 22:25 menyatakan:
“Jika engkau meminjamkan uang kapada
salah seorang ummatku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau
berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.”
·
Kitab
Deoteronomy Ulangan 23:19 menyatakan:
“Janganlah engkau membungakan kepada
saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.”
·
Kitab
Levicitus Ulangan 23:20 menyatakan:
“Dari orang asing boleh engkau
memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga … supaya
TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri yang engkau
masuki untuk mendudukinya.”
·
Kitab
Imamat 35:7 menyatakan:
“Janganlah engkau mengambil bunga
uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya
saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uang-mu kepadanya
dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta
riba.”
c. Riba dalam Kristen
Konsep Bunga di Kalangan Kristen. Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini
secara jelas. Namun, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang
terdapat dalam Lukas 6:34-5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan
bunga. Ayat tersebut menyatakan : “Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu
kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah
jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka
menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik
kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan
besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik
terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang
jahat.”
5
Ketidaktegasan ayat tersebut
mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama
Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktekkan pengambilan
bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan
menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I
hingga XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII –
XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis
Kristen (abad XVI – tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan
bunga. Kitab Ulangan 23:20 menyatakan:
“Dari orang asing boleh engkau
memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga … supaya
TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri yang engkau
masuki untuk mendudukinya.“
d.
Riba dalam Hindu dan Budha
Praktek
riba (rente) dalam agama Hindu dan Budha dapat kita temukan dalam naskah kuno
India. Teks – teks Veda India kuno (2.000-1.400 SM) mengkisahkan “lintah darat”
(kusidin) disebutkan sebagai pemberi pinjaman dengan bunga. Atau dalam dalam
teks Sutra (700-100 SM) dan Jataka Buddha (600-400 SM) menggambarkan situasi
sentimen yang menghina riba.
Sebagai
contoh, Vasishtha, seorang Hindu terkenal pembuat hukum waktu itu, membuat
undang-undang khusus yang melarang kasta yang lebih tinggi dari Brahmana (pendeta)
dan Ksatria (pejuang) menjadi rentenir atau pemberi pinjaman dengan bunga
tinggi. Juga, dalam Jataka, riba disebut sebagai “hypocritical ascetics are
accused of practising it”. Pada abad kedua, riba telah menjadi istilah yang
lebih relatif, seperti yang tersirat dalam hukum Manu, “ditetapkan bunga
melampaui tingkat hukum yang berlaku.
B. RIBA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
·
Pandangan
Para Pendeta Awal Kristen (Abad I – XII)
Bunga adalah semua bentuk yang
diminta sebagai imbalan yang melebihi jumlah barang yang dipinjamkan. Mengambil
bunga adalah suatu dosa yang dilarang, baik dalam Perjanjian Lama maupun
Perjanjian Baru. Keinginan atau niat untuk mendapat imbalan melebihi apa yang
dipinjamkan adalah suatu dosa. Bunga harus dikembalikan kepada pemiliknya. Harga
barang yang ditinggikan untuk penjualan secara kredit juga merupakan bunga yang
terselubung.
Pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang.
6
Mereka merujuk masalah pengambilan
bunga kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani oleh orang Kristen. St.
Basil (329 – 379) menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang tidak
berperi-kemanusiaan. Baginya, mengambil bunga adalah mengambil keuntungan dari
orang yang memerlukan. Demikian juga mengumpulkan emas dan kekayaan dari air
mata dan kesusahan orang miskin.
St. Gregory dari Nyssa (335 – 395)
mengutuk praktek bunga karena menurutnya pertolongan melalui pinjaman adalah
palsu. Pada awal kontrak seperti membantu tetapi pada saat menagih dan meminta
imbalan bunga bertindak sangat kejam. St. John Chrysostom (344 – 407)
berpendapat bahwa larangan yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang ditujukan
bagi orang-orang Yahudi juga berlaku bagi penganut Perjanjian Baru.
St. Ambrose mengecam pemakan bunga
sebagai penipu dan pembelit (rentenir). St. Augustine berpendapat pemberlakuan
bunga pada orang miskin lebih kejam dibandingkan dengan perampok yang merampok
orang kaya. Karena dua-duanya sama-sama merampok, satu terhadap orang kaya dan
lainnya terhadap orang miskin. St. Anselm dari Centerbury (1033 – 1109) menganggap
bunga sama dengan perampokan.
Larangan praktek bunga juga
dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang (Canon): Council of Elvira
(Spanyol tahun 306) mengeluarkan Canon 20 yang melarang para pekerja gereja
mem-praktekkan pengambilan bunga. Barangsiapa yang melanggar, maka pangkatnya
akan diturunkan. Council of Arles (tahun 314) mengeluarkan Canon 44 yang juga
melarang para pekerja gereja mempraktekkan pengambilan bunga. First Council of
Nicaea (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat para
pekerja gereja yang mempraktekkan bunga. Larangan pemberlakuan bunga untuk umum
baru dikeluarkan pada Council of Vienne (tahun 1311) yang menyatakan
barangsiapa menganggap bahwa bunga itu adalah sesuatu yang tidak berdosa maka
ia telah keluar dari Kristen (murtad).
·
Pandangan
Para Sarjana Kristen (Abad XII – XVI)
Niat atau perbuatan untuk
mendapatkan keuntungan dengan memberikan pinjaman adalah suatu dosa yang
bertentangan dengan konsep keadilan. Mengambil bunga dari pinjaman diperbolehkan,
namun haram atau tidaknya tergantung dari niat si pemberi hutang.
Pada masa ini terjadi perkembangan
yang sangat pesat di bidang perekonomian dan perdagangan. Pada masa tersebut,
uang dan kredit menjadi unsur yang penting dalam masyarakat.
7
Pasar uang perlahan-lahan mulai
terbentuk. Proses tersebut mendorong terwujudnya suku bunga pasar secara
meluas. Para sarjana Kristen pada masa ini tidak saja membahas permasalahan
bunga dari segi moral semata yang merujuk kepada ayat-ayat Perjanjian Lama
maupun Perjanjian Baru, mereka juga mengaitkannya dengan aspek-aspek lain. Di
antaranya, menyangkut jenis dan bentuk undang-undang, hak seseorang terhadap
harta, ciri-ciri dan makna keadilan, bentuk-bentuk keuntungan, niat dan
perbuatan manusia, serta per-bedaan antara dosa individu dan kelompok.
Mereka dianggap telah melakukan
terobosan baru sehubungan dengan pendefinisian bunga. Dari hasil bahasan mereka
untuk tujuan memperhalus dan melegitimasi hukum, bunga dibedakan menjadi
interest dan usury. Menurut mereka, interest adalah bunga yang diperbolehkan,
sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan. Para tokoh sarjana Kristen yang
memberikan kontribusi pendapat yang sangat besar sehubungan dengan bunga ini
adalah Robert of Courcon (1152-1218), William of Auxxerre (1160-1220), St.
Raymond of Pennaforte (1180-1278), St. Bonaventure (1221-1274), dan St. Thomas
Aquinas (1225-1274).
·
Pandangan
Para Reformis Kristen (Abad XVI – Tahun 1836)
Pendapat para reformis telah
mengubah dan membentuk pandangan baru mengenai bunga. Para reformis itu antara
lain adalah John Calvin (1509-1564), Charles du Moulin (1500 – 1566), Claude
Saumaise (1588-1653), Martin Luther (1483-1546), Melanchthon (1497-1560), dan
Zwingli (1484-1531). Beberapa pendapat Calvin sehubungan dengan bunga antara
lain:
v Dosa apabila bunga
memberatkan.
v Uang dapat membiak (kontra
dengan Aristoteles).
v Tidak menjadikan pengambil
bunga sebagai profesi.
v Jangan mengambil bunga
dari orang miskin.
Du Moulin mendesak agar pengambilan
bunga yang sederhana diperbolehkan asalkan bunga tersebut digunakan untuk
kepentingan produktif. Saumise, seorang pengikut Calvin, membenarkan semua
pengambilan bunga, meskipun ia berasal dari orang miskin. Menurutnya, menjual
uang dengan uang adalah seperti perdagangan biasa, maka tidak ada alasan untuk
melarang orang yang akan menggunakan uangnya untuk membuat uang. Menurutnya
pula, agama tidak perlu repot-repot mencampuri urusan yang berhubungan dengan
bunga.
8
·
Konsep
Bunga dikalangan Yunani Dan Romawi
Konsep atau praktik pengambilan
bunga dicela oleh para Ahli Filsafat, dua filosof yunani terkemuka,Yaitu plato
dan Aristoteles, mengecam praktik bunga. Dengan pebndapat mereka sebagai
berikut:
·
Plato
( 427-347 SM). Dia mengecam system bunga berdasarkan dua alasan, yang pertama :
Bunga mengakibatkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua
: Bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin.
·
Adapun
Aristoteles ( 384-322 SM) menyatakan keberatannya mengemukakan bahwa fungsi
uang adalah sebagi alat tukar atau Medium of exchange. Ditegaskannya bahwa uang
bukan alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga.Diapun menyebut bunga
sebagai uang yang berasal keberadaannya dari sesuatu yang belum tentu pasti
terjadi.
·
Filosof
yunani, Cato (234-149 SM). Ia berkata pada anaknya agar menjauhi dua perkara
yaitu memungut cikai dan mengambil bunga.
C.ALASAN PEMBENARAN PENGAMBILAN RIBA
Sekalipun
ayat-ayat dan hadits riba sudah sangat jelas dan sharih, masih saja ada
beberapa cendekiawan yang mencoba untuk memberikan pembenaran atas pengambilan
bunga uang. Di antara-nya karena alasan:
1. Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya.
2.
Hanya bunga yang berlipat ganda saja dilarang. Sedangkan suku bunga yang
“wajar” dan tidak mendzalimi, diperkenankan.
3.
Bank, sebagai lembaga, tidak masuk dalam kategori mukallaf. Dengan demikian
tidak terkena khitab ayat-ayat dan hadits riba.
PEMBAHASAN :
1.
Darurat
Untuk
lebih memahami pengertian, kita seharusnya melakukan pembahasan yang
komprehensif tentang pengertian darurat ini seperti yang dinyatakan oleh syara’
(Allah dan rasul-Nya) bukan pengertian sehari-hari terhadap istilah ini.
Imam Suyuti dalam bukunya Al Asybah wan Nadhair menegaskan bahwa “darurat adalah suatu keadaan emergency di mana jika seseorang tidak segera melakukan sesuatu tindakan dengan cepat, maka akan membawanya ke jurang kehancuran atau kematian.”
Imam Suyuti dalam bukunya Al Asybah wan Nadhair menegaskan bahwa “darurat adalah suatu keadaan emergency di mana jika seseorang tidak segera melakukan sesuatu tindakan dengan cepat, maka akan membawanya ke jurang kehancuran atau kematian.”
9
Dalam literatur klasik keadaan emergency ini sering dicontohkan dengan seorang yang tersesat di hutan dan tidak ada makanan lain kecuali daging babi yang diharamkan, maka dalam keadaan darurat demikian Allah menghalalkan daging babi dengan 2 batasan
“Barangsiapa
dalam keadaan terpaksa, seraya dia (1) tidak menginginkan dan (2) tidak pula
melampaui batas, maka sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun Maha Penyayang.”
(Q.S. Al Baqarah: 173) Pembatasan yang pasti terhadap pengambilan dispensasi
darurat ini harus sesuai dengan metodologi ushul fiqh, ter-utama penerapan al
qawaid al fiqhiyah seputar kadar darurat.
Sesuai
dengan ayat di atas para ulama merumuskan kaidah
“Darurat
itu harus dibatasi sesuai kadarnya.”
Artinya
darurat itu ada masa berlakunya serta ada batasan ukuran dan kadarnya.
Contohnya, seandainya di hutan ada sapi atau ayam maka dispensasi untuk memakan
daging babi menjadi hilang. Demikian juga seandainya untuk mempertahankan hidup
cukup dengan tiga suap maka tidak boleh melampaui batas hingga tujuh atau
sepuluh suap. Apalagi jika dibawa pulang dan dibagi-bagikan kepada tetangga.
2. Berlipat Ganda
Pendapat
bahwa bunga hanya dikategorikan riba bila sudah berlipat-ganda dan memberatkan.
Sementara bila kecil dan wajar-wajar saja dibenarkan . Pendapat ini berasal
dari pe-mahaman yang keliru atas Surat Ali Imran ayat 130.
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat-ganda
dan bertaqwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan.”
Sepintas, surat Ali Imran 130 ini memang hanya melarang riba yang berlipat-ganda. Namun pemahaman kembali ayat ter-sebut secara cermat, termasuk mengaitkannya dengan ayat-ayat riba lainnya. Secara komprehensif, serta pemahaman terhadap fase-fase pelarangan riba secara menyeluruh, akan sampai pada kesimpulan bahwa riba dalam segala bentuk dan jenisnya mutlak diharamkan
Sepintas, surat Ali Imran 130 ini memang hanya melarang riba yang berlipat-ganda. Namun pemahaman kembali ayat ter-sebut secara cermat, termasuk mengaitkannya dengan ayat-ayat riba lainnya. Secara komprehensif, serta pemahaman terhadap fase-fase pelarangan riba secara menyeluruh, akan sampai pada kesimpulan bahwa riba dalam segala bentuk dan jenisnya mutlak diharamkan
Kriteria berlipat-ganda dalam ayat
ini harus dipahami sebagai hal atau sifat dari riba, dan sama sekali bukan
merupakan syarat. Syarat artinya kalau terjadi pelipat-gandaan, maka riba,
jikalau kecil tidak riba.
Menanggapi hal ini, Dr. Abdullah
Draz, dalam salah satu konfrensi fiqh Islami di Paris, tahun 1978, me-negaskan
kerapuhan asumsi syarat tersebut. Beliau menjelaskan secara linguistik arti
“kelipatan”. Sesuatu berlipat minimal 2 kali lebih besar dari semula. Sementara
adalah bentuk jamak dari kelipatan tadi. Minimal jamak adalah 3. Dengan demikian
berarti 3×2=6 kali. Sementara dalam ayat adalah ta’kid untuk penguatan.
10
Dengan demikian menurut beliau,
kalau berlipat-ganda itu dijadikan syarat, maka sesuai dengan konsekuensi
bahasa, minimum harus 6 kali atau bunga 600 %. Secara operasional dan nalar
sehat angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan maupun simpan-pinjam.
Menanggapi pembahasan Q.S. Ali Imran
ayat 130 ini Syaikh Umar bin Abdul Aziz Al Matruk, menegaskan
“Adapun yang dimaksud dengan ayat
130 Surat Ali Imran, termasuk redaksi berlipat-ganda dan pengguna-annya sebagai
dalil, sama sekali tidak bermakna bahwa riba harus sedemikian banyak. Ayat ini
menegaskan tentang karakteristik riba secara umum bahwa ia mempunyai
kecenderungan untuk berkembang dan berlipat sesuai dengan berjalannya waktu.
Dengan demikian redaksi ini (berlipat-ganda) menjadi sifat umum dari riba dalam
terminologi syara (Allah dan rasul-Nya).”
DR. Sami Hasan Hamoud menjelaskan
bahwa, bangsa Arab di samping mela-kukan pinjam-meminjam dalam bentuk uang dan
barang bergerak juga melakukannya dalam ternak. Mereka biasa meminjamkan ternak
berumur 2 tahun (bint makhad) dan meminta kembalian berumur 3 tahun (bint
labun). Kalau meminjamkan bint labun meminta kembalian haqqah (berumur 4
tahun). Kalau meminjamkan haqqah meminta kembalian jadzaah (berumur 5 tahun).
Kriteria tahun dan umur ternak
terkadang loncat dan tidak harus berurutan tergantung kekuatan supply and
demand (permintaan dan penawaran) di pasar. Dengan demikian, kriteria tahun
bisa berlipat dari ternak berumur 1 ke 2, bahkan ke 3 tahun.
Perlu direnungi pula bahwa
penggunaan kaidah maf-hum mukhalafah dalam konteks Ali Imran 130 sangatlah
menyimpang baik dari siyaqul kalam, konteks antar-ayat, kronologis penurunan
wahyu, dan sabda-sabda Rasulullah seputar pembungaan uang serta praktek riba
pada masa itu. Secara sederhana, jika kita menggunakan logika maf-hum
mukhalafah yang berarti konsekuensi secara terbalik – jikalau berlipat ganda
dilarang, maka kecil boleh; jikalau tidak sendirian, maka bergerombol; jikalau
tidak di dalam maka di luar. dan seterusnya, kita akan salah kaprah dalam
memahami pesan-pesan Allah I Sebagai contoh jika ayat larangan berzina kita
tafsirkan secara mafhum mukhalafah {32} “Dan janganlah kalian mendekati zina;
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.
11
Dan suatu jalan yang buruk.” “Diharamkan bagi
kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah.” Janganlah mendekati zina! Yang dilarang adalah
mendekati, berarti perbuatan zina sendiri tidak dilarang. Demikian juga
larangan memakan daging babi.
Janganlah memakan daging babi! Yang
dilarang memakan dagingnya, sementara tulang, lemak, dan kulitnya tidak
disebutkan secara eksplisit. Apakah berarti tulang, lemak, dan kulit babi halal.
Pemahaman pesan-pesan Allah seperti
ini jelas sangat membahayakan karena seperti dikemukakan di atas, tidak
mengindahkan siyaqul kalam, kronologis penurunan wahyu, konteks antarayat,
sabda-sabda Rasulullah seputar subjek pembahasan, demikian juga disiplin ilmu
bayan, badie, dan maa’nie.
Di atas itu semua harus pula
dipahami sekali lagi bahwa ayat 130 Surat Ali Imran diturunkan pada tahun ke 3
H. Ayat ini harus dipahami bersama ayat 278-279 dari surat Al Baqarah yang
turun pada tahun ke 9 H. Para ulama menegaskan bahwa pada ayat terakhir
tersebut merupa-kan “ayat sapu jagat” untuk segala bentuk, ukuran, kadar, dan
jenis riba.
3. Badan Hukum dan Hukum Taklif
Ada sebagian ulama yang berpendapat
bahwa ketika ayat riba turun dan disampaikan di Jazirah Arabia, belum ada bank
atau lembaga keuangan, yang ada hanyalah individu-individu. Dengan demikian
BCA, Bank Danamon, atau Bank Lippo, tidak terkena hukum taklif karena pada saat
Nabi hidup belum ada.
Pendapat ini jelas memiliki banyak kelemahan, baik dari sisi historis maupun teknis
Pendapat ini jelas memiliki banyak kelemahan, baik dari sisi historis maupun teknis
i. Adalah tidak benar pada zaman
pra-Rasulullah tidak ada “badan hukum” sama sekali. Sejarah Romawi, Persia dan
Yunani menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari pihak
penguasa. Atau dengan kata lain, perseroan mereka telah masuk ke lembaran
negara.
ii. Dalam tradisi hukum, perseroan
atau badan hukum sering disebut sebagai juridical personality atau syakhsiyah
hukmiyah. Juridical personality ini secara hukum adalah sah dan dapat mewakili
individu-individu secara keseluruhan.
12
BAB III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Berdasarkan
uraian bahasan “ Riba dalam
perspektif agama dan sejarah “ dapat disimpulkan
bahwa :
1. Riba walaubagaimanapun
bentuknya tetap diharamkan.
2. Semua agama
mengharamkan riba.
3. Riba mendholimi
orang lai dan berdampak buruk bagi perekonomian.
B.
SARAN
Bertolak
dari pembahasan Riba dalam
perspektif agama dan sejarah penyusun
memberikan saran sebagai berikut :
1. Sebagai mahasiswa stai mari kita menjauhi riba di mulai
dari diri kita sendiri.
2. Bagi
pembaca penulis mengharapkan kritik dan sarannya yang bersifat membangun demi
sempurnanya makalah ini.
13
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad
Syafi’i. 2001, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Jakarta, Gema Insani
WWW. Wikipedia.com
14
RIBA DALAM PERSPEKTIF AGAMA
DAN SEJARAH
Makalah Perbankan Syariah
Dosen : Kartubi, S.E.,M.E.I
Oleh :
|
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) NATUNA
JURUSAN EKONOMI ISLAM
SEMESTER IVA
0 Response to "MAKALAH RIBA"
Post a Comment