BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATARBELAKANG
Dalam diskusi terbatas di Global Future Institute (GFI),
Jakarta pimpinan Hendrajit, diperoleh pointers bahwa konflik internal di suatu
negara sesungguhnya cuma TEMA dari sebuah SKEMA yang hendak ditancapkan oleh
sang Pemilik Hajatan. Artinya apapun bentuk dan warna, baik itu konflik
vertikal maupun horizontal, hanya susulan daripada isu-isu yang sebelumnya
ditebar (tersebar) dipublik. Selanjutnya apakah sukses atau tidak, berhasil
atau gagal dari sebuah tema berubah menjadi skema, sangat tergantung daripada
segenap komponen bangsa menyikapi. Sedang pada diskusi terbatas di forum KENARI
(Kepentingan Nasional RI) pimpinan Dirgo D Purbo, pakar perminyakan, tampaknya
lebih “keras” menyikapi konflik-konflik yang sekarang marak terjadi. Conflict
is protection oil flow and blockade somebody else oil flow. Ya, konflik
diletuskan hanya sebagai alih perhatian guna memblokade kepentingan orang lain
dan bahkan melindungi skema aliran minyak agar tidak digugat siapapun, sebab
bangsa tersebut disibukkan oleh isu dan tema-tema yang dibuat. Benang merah
pointers diskusi di atas terlihat sama, yaitu konflik cuma sekedar tema belaka!
B. RUMUSAN MASALAH
1. Mengetahui Terjadinya Konflik TNI
dan Polri
2. Penyebab utama terjadinya Konflik
tersebut
3. Mencari permasalahan
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Kerangka Teori
a.
Menurut Berstein, konflik
merupakan suatu pertentangan, perbedaan yang tidak dapat dicegah
yang mempunyai potensi yang memberi pengaruh positif dan negatif.
b.
Dr. Robert M.Z Lawang, konflik
adalah perjuangan untuk memperoleh nilai, status, kekuasaan, di mana tujuan
dari mereka yang berkonflik, tidak hanya memperoleh keuntungan, tetapi juga
untuk menundukkan saingannya.
c.
Menurut Soerjono Soekanto, konflik
adalah suatu proses sosial di mana orang perorangan atau kelompok manusia
berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang
disertai dengan ancamandan atau kekerasan.
Lewis a. Coser : adalah perselisihan mengenai nilai nilai
atau tuntutan tuntutanberkenaan dengan status, kuasa dan sumber sumber kekayaan
yang persediaannya terbatas.
Leopod Von Wiese :suatu proses sosial dimana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi tujuannya dengan jalan menentang pihak lain disertai dengan ancaman dan kekerasan.
Leopod Von Wiese :suatu proses sosial dimana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi tujuannya dengan jalan menentang pihak lain disertai dengan ancaman dan kekerasan.
R.J. Rummel :konfrontasi kekuasaan atau kekuatan sosial.
Duane Ruth-hefelbower :adalah kondisi yang terjadi ketika
dua pihak atau lebih menganggap ada perbedaan posisi yang tidak selaras, tidak
cukup sumber dan tindakan salahsatu pihak menghalangi, atau mencampuri atau
dalam beberapa hal membuat tujuan pihak lain kurang berhasil.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
ANALISIS MALASAH
1. Konflik Tni Polri
Konflik antara TNI dan Polri dalam kasus pembakaran Mapolres
Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, kemarin, diduga disebabkan
kesenjangan kewenangan. Terutama dalam penanganan kasus tewasnya anggota TNI
oleh Polri, akhir Januari lalu.
"Tak sepantasnya konflik ini terjadi antar dua
institusi negara. Kejadian ini harus segera diselesaikan oleh pihak-pihak
terkait agar hal serupa tak terulang kembali," ungkap Wakil Ketua Umum DPP
Partai Gerindra Fadli Zon kepada wartawan, Jumat (8/3/2013).
Fadli berpendapat, solusi ke depan adalah memastikan agar
proses hukum yang ada berjalan baik dan hukum ditegakkan. Pihak-pihak yang
bersalah, mendapat sanksi yang sepadan.
"Kejadian bentrok TNI-Polri sudah berulang kali, perlu
dikaji akar masalah. Termasuk UU yang menaungi kedua institusi. Kesenjangan
kewenangan adalah salah satu yang perlu dievaluasi," tegasnya.
Selain itu, komunikasi yang intens antar anggota TNI-Polri
harus dibangun lebih serius, serta memperkuat komunikasi dua arah mulai dari
pimpinan tertinggi hingga level bawah.
Menurut Fadli, kejadian ini merupakan evaluasi terhadap
regulasi yang ada, yakni UU No. 2/2002 tentang Polri, UU No. 34/2004 tentang
TNI, dan UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara.
Namun, aturan pelaksanaan dari regulasi tersebut belum
diselesaikan. Inpres Kamtibmas No. 2/2013 juga masih belum bisa menjawab gap
atau jarak regulasi. "Sehingga, hal ini menjadi sumber konflik dan
presiden harus segera membuat aturan-aturan pelaksanaan yang memadai,"
pungkasnya.
Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono menyatakan bahwa
kesejahteraan prajurit kini sudah lebih baik. Oleh karena itu, menurutnya
bentrokan yang terjadi di Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, harus ditelusuri
apa penyebab sesungguhnya untuk mencegah bentrokan serupa terulang kembali di
kemudian hari.
"Saat ini pun TNI kesejahteraannya sudah baik, tetapi
ada hal lain yang harus dipelajari yang mungkin nanti kita akan cari terus
mengarah ke pembinaan lapangan," ujar Agus di Bandara Halim Perdana
Kusumah, Jakarta, Sabtu 9 Maret 2013.
Dalam pandangannya, penyerangan terhadap Mapolres Ogan Komering
ulu oleh puluhan anggota Batalyon Armed 15/ 105 TNI Tarik Martapura
dilatarbelakangi kekecewaan atas penanganan kasus Pratu Heru Oktavinus, anggota
Batalyon 15/105, yang tewas ditembak mati oleh anggota Polisi Lalu Lintas
Polres OKU Brigadir Wijaya saat terlibat perkelahian di Desa Sukajadi, OKU,
pada 27 Januari 2013.
"Mereka datang karena emosi, ketidakpuasan, sehingga
melakukan perusakan," kata Agus.
Oleh karena itu, menurut Agus, masalah yang sebenarnya pada
kasus ini harus diketahui dengan baik dan mendapat penanganan serius.
"Selama kita masih memahami setiap manusia punya
masalah, tinggal bagaimana kita harus mengelola masalah sehingga tidak terjadi
kerusakan," kata Agus.
Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah
mencermati kasus bentrokan di Ogan Komering Ulu, Sumarera Selatan, kemudian
mengisntruksikan tim investigasi agar bersikap tegas terhadap pelaku
pelanggaran dari kedua belah pihak.
"Baik TNI maupun Polri, pasti yang melakukan
pelangaran akan ditendak tegas. Instruksi presiden adalah laksanakan penegakan
hukum sebaik-baiknya dan secepatnya, dalam arti yang salah harus ditindak
sesuai peraturan yang berlaku," kata Agus.
Presiden Indonesia ke-3, Baharuddin Jusuf Habibie, menilai
bentrok antara tentara dan polisi di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatra
Selatan, bukan cerminan dari institusi.
"Itu bukan soal polisi dan ABRI (TNI-Red). Itu
perorangan," kata Habibie usai memberikan ceramah dalam Sarasehan
Pembangunan Nasional, Bidang Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan di Gedung
Bappenas, Jakarta, Jumat (8/3).
Di tempat lain, Habibie memberikan pendapat, untuk
menyiasati masalah tersebut polisi harusnya ditempatkan di bawah Kementerian
Dalam Negeri. "Sudah saya bilang tadi (dalam ceramah sarasehan-Red)
harusnya polisi di bawah Mendagri," ujar Habibie.
Ketika ditanya apakah hal itu berarti Polri tidak
bertanggung jawab kepada presiden, Habibie mengamini. "Ya," tegasnya.
Bentrokan antara polisi dan tentara di Ogan, pecah sore
kemarin. Dua polisi kritis. Mereka: Kapolsek Martapura OKU Timur, Komisaris
Polisi Riduan; dan anggota Polres OKU, Ajun Inspektur Polisi Satu Marbawi
Aidil. Keduanya kini dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara, Palembang.
2. Akar Permasalahan Yang Terjadi
antara TNI dan Polri
Serbuan dan pembakaran Mapolres Ogan Komering Ulu oleh
anggota Batalyon Armed 15, pekan lalu, menambah daftar penjang kisah bentrok
TNI-Polri. Tadinya, banyak orang mengira konflik terbuka tentara-polisi adalah
bagian dari proses transisi demokrasi pasca-Orde Baru, sehingga setelah demokrasi
mulai tertata, politik berjalan normal, konflik itu akan lenyap.
Memang sistem politik demokratis masih mencari bentuk, tapi
stabilitas politik sebetulnya mantab sepanjang 10 tahun terakhir. Kecuali di
beberapa daerah konflik, keamanan semakin terkendali. Namun toh konflik terbuka
TNI-Polri tetap terjadi. Memasuki tahun ke 15 masa reformasi, konflik terus
berlanjut, seakan sudah menjadi penyakit akut.
Bentrok terbuka tentara-polisi, terlihat jelas pertama kali
terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah. Alih-alih meredakan konflik etnis yang
meluas di sana pada awal 2001, pasukan TNI dan anggota Polri justru saling baku
tembak. Hal serupa juga kerap terjadi di wilayah konflik lainnya seperti Ambon
dan Poso.
Rupanya, bukan ketegangan dan salah koordinasi yang menjadi
pemicu bentrok tentara-polisi. Buktinya, di wilayah damai mereka juga
berperang. Saling serang antara Brimob dan Yonif Lintas Udara 100 meletus di
Binjai Sumut, sepanjang tiga hari pada akhir September 2002. Lalu terulang lagi
di Atambua dan Gorontalo.
Menurut catatan KontraS, sepanjang 2005-2012, telah terjadi
26 kali bentrok pasukan TNI vs anggota Polri, yang menewaskan 11 orang dan 47
luka-luka. Korban material juga tak sedikit, mulai dari amunisi yang terbuang
percuma, senjata hilang, motor dan mobil rusak, hingga pos dan markas terbakar.
Mengapa sejak diterapkannya kebijakan pemisahan Polri dari
TNI lewat Tap MPR No VI/MPR/2000 dan Tap MPR No VII/MPR/2000, sering terjadi
konflik terbuka pasukan TNI vs anggota Polri?
Pimpinan TNI dan Polri selalu menunjuk faktor ketidaksiapan
mental personal sebagai sebab terjadinya bentrok. Ketidaksiapan mental antara
lain dilatari oleh semangat berlebihan dalam membela kawan, juga karena
sifat-sifat superior personal tentara yang kini berani dihadapi oleh polisi.
Sementara para aktivis LSM, cenderung menunjuk faktor
ekonomi sebagai sebab bentrokan. Dalam hal ini, konflik terbuka antara kedua
kelompok bersenjata itu lebih dimotivasi oleh rebutan lahan bisnis ilegal,
seperti judi, prostitusi dan penebangan kayu ilegal.
Penjelasan psikologis jelas tidak memuaskan, karena jika itu
benar, tentu konflik antara TNI-Polri juga terjadi pada masa sebelumnya.
Demikian juga, menunjuk rebutan lahan bisnis ilegal juga tidak bisa menjelaskan
fenomena konflik yang beruntun sejak diterapkannya kebijakan pemisahan Polri
dari TNI. Keduanya baru bicara soal pemicu konflik.
Padahal konflik terbuka (yang ditandai dengan kekerasan
fisik, seperti pemukulan, penyiksaan dan pembunuhan berserta pemicunya)
hanyalah fenomena permukaan. Di balik berbagai peristiwa konflik terbuka
tersebut pasti terdapat masalah-masalah yang sifatnya substantif yang
melatarbelakangi dan mendorong terjadinya peristiwa-peristiwa kekerasan
antarpasukan tersebut.
Saatnya para peneliti militer dan kepolisian, mendalami dan
memahami masalah ini, lalu memetakan secara cermat, sehingga ditemukan jalan
keluar yang komprehensif untuk mengatasinya. Bagaimanapun bentrok antaraparat
negara bukan saja memalukan, tetapi juga merugikan rakyat banyak. Rakyat bayar
pajak untuk menggaji mereka, bukan untuk adu kekuatan sesama, tetapi bela
negara dan melindungi rakyat.
3. Penyelesaian Masalah
Peristiwa bentrokan antara anggota TNI dan Polri, bukan yang
pertama kalinya terjadi. Menurut data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan (Kontras), sejak 2005 hingga 2012 telah terjadi 26 kali
bentrok TNI-Polri. Banyak yang berpendapat Konflik TNI dan Polri karena faktor
ketimpangan dan kesenjangan.
Selain itu, perilaku korup juga menjadi penyebab gesekan di
antara dua lembaga negara ini, seperti dalam kasus korupsi simultor. Konflik
TNI-Polri sangat memprihatinkan. Peristiwa itu juga membuat kekhawatiran di
masyarakat. Sebab, karena kedua aparat negara ini memiliki otoritas untuk
menggunakan senjata api modern yang mematikan. Konflik di antara mereka dapat
mengancam keamanan dan pertahanan negara. Padahal mereka seharusnya merupakan
garda terdepan penjaga keamanan dan pertahanan negara.
Permasalahan tersebut membutuhkan kajian yang komprehensif
dan kebijakan yang konkrit. Hal itu agar peristiwa itu tidak meluas dan tidak
terluang kembali. persoalan utama konflik TNI-Polri, karena tak pernah
diketahui secara tepat akar konflik itu sendiri. Analisis yang selama ini
beredar lebih banyak dugaan, tanpa dasar penelitian akademik yang objektif.
Dugaan dan prasangka itu seperti perebutan rezeki, psikologi
polisi yang tidak dibayangi tentara, dan tentara yang mudah tersinggung. Sudah
waktunya menyelesaikan permasalahan dengan data objektif, karena tidak ada
jaminan besok tidak terjadi lagi.
a. Konflik TNI versus Polri: Skema
Pelemahan NKRI dari Sisi Internal
Dalam diskusi terbatas di Global Future Institute (GFI),
Jakarta pimpinan Hendrajit, diperoleh pointers bahwa konflik internal di suatu
negara sesungguhnya cuma TEMA dari sebuah SKEMA yang hendak ditancapkan oleh
sang Pemilik Hajatan. Artinya apapun bentuk dan warna, baik itu konflik
vertikal maupun horizontal, hanya susulan daripada isu-isu yang sebelumnya
ditebar (tersebar) dipublik. Selanjutnya apakah sukses atau tidak, berhasil
atau gagal dari sebuah tema berubah menjadi skema, sangat tergantung daripada
segenap komponen bangsa menyikapi. Sedang pada diskusi terbatas di forum KENARI
(Kepentingan Nasional RI) pimpinan Dirgo D Purbo, pakar perminyakan, tampaknya
lebih “keras” menyikapi konflik-konflik yang sekarang marak terjadi. Conflict
is protection oil flow and blockade somebody else oil flow. Ya, konflik
diletuskan hanya sebagai alih perhatian guna memblokade kepentingan orang lain
dan bahkan melindungi skema aliran minyak agar tidak digugat siapapun, sebab
bangsa tersebut disibukkan oleh isu dan tema-tema yang dibuat. Benang merah
pointers diskusi di atas terlihat sama, yaitu konflik cuma sekedar tema belaka!
Dokumen GFI mengisyaratkan, bahwa model kolonialisme yang
dikembangkan kini ialah asimetris (non militer). Lazimnya pola asimetris,
diawali dengan tebaran isu ke tengah-tengah masyarakat, kemudian dimunculkan
tema gerakan dan berujung pada skema. Ya, skema merupakan ruh atau inti tujuan
kolonialisasi.
Contohnya ialah Arab Spring atau “Musim Semi Arab”. Dari
perspektif politik global, ternyata ia hanya “tema gerakan” melalui kekuatan
massa setelah opini publik terbentuk via isu-isu (korupsi, kemiskinan, pimpinan
tirani dll) yang digencarkan oleh media, facebook, twitter dan lain-lain.
Sedangkan “skema” yang diusung oleh kepentingan Barat di Jalur Sutra (Timur
Tengah, Afrika Utara dll) adalah penggusuran rezim, atau istilahnya tata ulang
kekuasaan. Inilah pola kolonialisme dari model asimetris asing yang mulai
terendus.
Tatkala “Save KPK” di Indonesia kemarin marak, memang sempat
dinilai sebagai TEMA gerakan sebab indikasinya sama dengan pola Arab Spring.
Misalnya isu yang ditebar soal korupsi (bukankah korupsi di Indonesia
diciptakan melalui sistem?), ada isu pemimpin atau institusi tirani, sangat
berperannya media, jejaring sosial dan lainnya. Kemudian bila membandingkan
aktor atau pemrakarsa gerakan massa antara Arab Spring di Jalur Sutra dengan
Save KPK ternyata sama pula, yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
menginduk kepada lembaga donatur internasional atau memiliki link up ke LSM
asing. Secara tersirat, sejatinya TEMA model asimetris ala KPK hampir sukses di
Bumi Pertiwi. Namun syukurlah tema tersebut gagal melaju ke tahap berikut.
Entah kenapa. Karena ketiadaan dana, kurang dukungan, atau keburu ketahuan?
Contoh lain masalah rumor flu burung. GFI melihat rumor
tersebut cuma sekedar isue semata, karena tema yang akan diangkat ialah daging
mahal atau daging langka, maka skema yang menjadi tujuan pokok adalah impor
daging mutlak harus dilestarikan baik kualitas maupun kuantitasnya di
Indonesia. Jelas sudah, bahwa skema kolonialis yang tengah disiapkan via isu
flu burung adalah “jerat impor” bagi bangsa ini. Demikian pula untuk bidang
pangan lainnya seperti beras, ikan, singkong, kedelai, gula, garam,
bawang-bawangan, dll sehingga republik ini “dibuat” seperti tidak memiliki
kedaulatan sama sekali atas pangan, padahal secara fisik semuanya ada, nyata
dan bahkan berlimpah.
Teringat statement Henry Kissinger (1970), “Control oil
and you control the nations, control food and you control the people”
(Kontrolah minyak kamu akan mengontrol negara, kontrol pangan maka anda
mengendalikan rakyat). Sekali lagi, retorika menggelitik pun timbul: “Apakah
bangsa ini tidak sedang dilumpuhkan kedaulatan pangannya melalui skema jerat
impor oleh asing?”. Retorika ini tidak butuh jawaban agar artikel ini bisa
diteruskan. Tetapi yang lebih mengerikan lagi ialah isyarat Vandana Shiva,
bahwa bila kolonialisasi lama hanya merampas tanah, sedangkan kolonialisasi
baru merampas seluruh kehidupan!
Merujuk judul dan uraian di atas, mencermati konflik antara
TNI versus Polri di Ogan Komering Ulu (OKU) dari perspektif politik global,
sesungguhnya kasus tersebut hanyalah tema belaka. Lalu apa kelanjutan skema?
Hasil diskusi GFI merekomendasi bahwa konflik antar aparat di OKU diprakirakan
merupakan skema pelemahan bangsa via pencerai-beraian elemen dan pecah belah
dari sisi internal. Ini yang mutlak diwaspadai bersama oleh segenap tumpah
darah Indonesia dimanapun berada dan berkiprah.
Tak dapat dipungkiri, TNI-Polri adalah organ-organ perekat
bangsa. Bahkan di antara berbagai elemen-elemen bangsa lain, keduanya masih
solid hingga kini, sebab keduanya merupakan anak kandung revolusi (kemerdekaan)
dulu. Tak bisa tidak, TNI-Polri itu benteng terakhir dari sebuah sistem
kedaulatan bangsa. Apabila retak kedua institusi niscaya bakal pecahlah bangsa
dan negara. Ini harus disadari bersama oleh segenap komponen bangsa!
Jujur harus diakui, dinamika politik menjelang 2014 kendati
terlihat glamour namun tidak bermakna apa-apa bagi kesejahteraan rakyat,
apalagi untuk Kepentingan Nasional RI. Segenap elit dan partai politik dibuat
sibuk, asyik dan porak-poranda oleh korupsi; organisasi massa
dibentur-benturkan melalui pragmatisme; para pemuda dan mahasiswa diracuni
narkoba serta disusupi dogma-dogma impor atas nama kebebasan dan demokrasi di
tataran hilir, dll. Tampaknya media massa terutama media mainstream memiliki
kontribusi luar biasa atas “keretakan” yang tengah terjadi pada bangsa ini,
karena media massa cuma sekedar memberitakan secara gegap gempita tentang isu-isu,
tema, kemudian ke isu lagi, lalu ke tema lagi, demikian seterusnya cuma
mengejar gegap rating tanpa solusi jelas.
Mengakhiri handout singkat lagi sederhana ini, kiranya
segera dihentikan dampak dan polemik yang merambah kemana-mana justru semakin menjauh
dari Kepentingan Nasional RI. Padamkan solidaritas sempit dan jangan kembangkan
ego sektoral yang kontra produktif, agar tema yang sudah tergelar di OKU tidak
melaju ke tahap skema gerakan asing, yakni pelemahan NKRI dari sisi internal
melalui konflik antar TNI versus Polri.
0 Response to "TERJADINYA KONFLIK TNI POLRI"
Post a Comment