HUKUM WARIS DALAM ISLAM



SISTEM KEWARISAN ISLAM ( HUKUM WARIS)

ABSTRAK 
Hukum kewarisan Islam dalam perkembangannya, mengenai ahli waris pengganti yang bertujuan untuk mencari rasa keadilan bagi ahli waris. Pada dasarnya ahli waris pengganti menjadi ahli waris karena orang tuanya yang berhak mewaris meninggal lebih dahulu dari pewaris. Dalam hukum kewarisan Islam bagian yang diterima ahli waris pengganti tidak sama persis dengan bagian yang seharusnya diterima ahli waris yang digantikannya, ahli waris pengganti dalam garis kebawah, keatas, ke samping sedangakan dalam hukum kewarisan Perdata bagian yang diterima sama dan ahli waris pengganti tidak ada untuk garis keatas. (Amir Syarifudin, 2008 : 24)
   
A.    PENDAHULUAN

Dalam kaitan pengelolaan harta, syariat Islam mengatur pula tata cara dan ketentuan pembagian harta yang ditinggalkan orang meninggal dunia yang disebut hukum waris. Pengaturan harta waris didasarkan kepada firman Allah :

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. ( An-Nisaa 4:7)(Prof. Dr. Azumardi Azra, dkk, 2002 : 194).

Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan yang memegang peranan penting, bahkan menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat. Hukum kewarisan sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia karena terkait dengan harta kekayaan dan manusia yang satu dengan yang lainnya. Kematian atau meninggal dunia adalah peristiwa yang pasti akan dialami oleh seseorang, karena kematian merupakan akhir dari perjalanan hidup seorang manusia. Jika orang yang meninggal dunia yangdikenal dengan pewaris meninggalkan keluarga dan harta kekayaan yang disebut warisan, dengan cara apa kita akan menyelesaikan atau membagi warisan yang ditinggalkan oleh pewaris serta hukum apa yang akan diterapkan untuk membagi warisan tersebut. Hukum yang membahas tentang peralihan harta peninggalan, pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia, diatur dalam hukum kewarisan.Hukum kewarisan yang lazim disebut dengan Hukum Faraid merupakan bagian dari keseluruhan hukum Islam yang khususmengatur dan membahas tentang proses peralihan harta peninggalandan hak-hak serta kewajiban seseorang yang telah meninggal duniakepada yang masih hidup. (Idris Djakfar dan Taufik Yahya, 1995:3-4).

Idris Djakfar dan Taufik Yahya mendefinisikan hukum kewarisan adalah:
“ Seperangkat ketentuan yang membahas tentang cara-cara peralihan hak dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan kepada Wahyu Illahi yang terdapat dalam Al-Qur’an dan penjelasannya yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, dalam istilah arab disebut Faraidl. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.Selain terdapat dalam Al Qur-an, ketentuan hukum kewarisan Islam juga terdapat dalam hadist Nabi Muhammad S.A.W yang artinya :“Dari Ibnu Abbas r.a dari Nabi S.A.W, ia berkata : Berikanlah faraid (bagian yang telah ditentukan dalam Al Qur-an) kepada yang berhak menerimanya dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat”. (H.R. Bukhari – Muslim). ( Amir Syarifudin, 2008:12).

B.    PEMBAHASAN
Agama Islam mengatur cara pewarisanberasaskan keadilan antara kepentingan anggota keluarga, kepentingan agama dan kepentingan masyarakat. Hukum Islam tidak hanya memberi warisan kepada pihak suami atau isteri saja, tetapi juga memberi warisan kepada keturunan kedua suami isteri itu, baik secara garis lurus kebawah, garis lurus ke atas, atau garis ke samping, baik laki-laki atau perempuan. Dengan alasan demikian maka hukum kewarisan Islam bersifat individual. Di samping sifat hukum waris Islam tersebut diatas, prinsip yang mendasari sistem pewarisan Islam dalam simposium hukum waris nasional tahun 1983 di Jakarta adalah sebagai berikut:

a.    Hukum waris Islam tidak memberikan kebebasan penuh kepada seseorang untuk pengosongkan harta peninggalannya dengan jalan wasiat pada orang yang disayanginya. Sebaliknya juga tidak melarang sama sekali pembagian hartanya semasa ia masih hidup. Pewarisan terbatas dilingkungan kerabat baik berdasarkan hubungan perkawinan maupun ikatan keturunan yang sah.

b.    Hukum waris Islam cendrung membagikan harta warisan kepada ahli waris dalam jumlah yang berhak diterimanya untuk dimiliki secara perorangan menurut kadar bagian masing-masing, baik harta yang ditinggalkan itu sedikit atau banyak jumlahnya.
Perbedaan umur tidak membawa pembedaan dalam hak mewarisi bagi anak-anak. Perbedaan besar kecilnya bagian warisan berdasarkan berat ringannya kewajiban dan tanggung jawab sianak dalam kehidupan kerabat. (Amir Syarifuddin, 2008:12).

Hal yang perlu diketahui bahwa hukum kewarisan Islam mempunyai corak atau karakteristik tersendiri, yang berbeda dengan hukum kewarisan yang lain, corak atau karakteristik tersebut adalah :

a.      Perolehan perseorangan ahli waris

    Maksudnya perolehan yang diperuntukan bagi perseorangan yaitu bagian tertentu bagi     orang-orang tertentu, dalam keadaan tertentu. Angka-angka faraid 1/8, ¼, 1/6, 1/3,     ½,dan 2/3menunjukan jaminan kepemilikan secara individu. Untuk anak lakilaki     memperoleh bagian dua kali anak perempuan.

b.      Variasi pengurangan perolehan ahli waris
    Variasi pengurangan perolehan terjadi karena adanya orang-orang tertentu dalam     keadaan tertentu memperoleh bagian yang tertentu atau kehadiran dzawul faraid     lainnya. Contohnya dapat dilihat dalam beberapa garis hukum :

1)      Garis hukum Surat An-Nisa’ ayat 11, perolehan dzawul faraid dua orang anak     perempuan atau lebih 2/3, satu orang anakperempuan ½
2)      Garis hukum Surat An-Nisa’ ayat 12, perolehan untuk duda atau janda, dari ½     menjadi ¼ untuk duda karena ada anak, dari ¼ menjadi 1/8 untuk janda karena ada     anak. Pengurangan perolehan bagian warisan disebabkan oleh jumlah mereka     berbeda.
3)      Garis hukum Surat An-Nisa’ ayat 176, perolehan bagi satu saudara perempuan 1/2, dua orang saudara perempuan atau lebih 2/3. (Zainuddin Ali, 2008:23)

c.       Metode penyelesaian pembagian warisan

    Adanya metode penyelesaian yang dikenal dengan Aul dan Rad.Aul adalah suatu cara penyelesaian bila terjadi ketekoran dalam pembagian harta warisan, dilakukan pengurangan terhadap bagian masing-masing ahli waris secara berimbang. Rad adalah pengembalian sisa harta setelah dibagi kepada dzawul faraid, sisa hartA tersebut dibagi secara berimbang oleh ahli waris dzawul faraid. (Hazairin, 1964:45).
Kerangka Pemikiran/Kerangka Teoretik

Sumber hukum kewarisan Islam yang utama adalah Al-Qur’an, yaitu surat An-Nisa ayat 7,11,12,33 dan 176. Di samping sumber hukum yang utama tersebut, juga terdapat sumber hukum yang lainnya yaitu Assunnah dan Ijtihad. Al-Qur’an rinci sekali menentukan bagian ahli waris tertentu. Ahli waris yang mendapat bagian tertentu dan dalam keadaan yang tertentu disebut ahli waris Dzul faraid. (Sajuti Thalib, 1982:65).

Penamaan dzul faraid untuk ahli waris tertentu tersebut dipergunakan oleh seluruh pihak yangmengemukakan ajaran mengenai hukum kewarisan Islam. Meskipun Al-Qur’an telah menentukan secara rinci bagian para ahli waris tertentu, tetapi tetap ada perbedaan pendapat di antara fuqaha (ahli hukum fiqh). Perbedaan pendapat itu hanya muncul jika suatu masalah tidak atau kurang jelas diatur dalam Al-Qur’an. Dalam hal kedudukan seorang cucu. Al-Qur’an tidak merinci bagian cucu atas warisan kakek atau neneknya. Masalah kedudukan seorang cucu ini, dalam perkembangannya menimbulkan persoalan, yakni dikenal atau tidaknya sistem ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan Islam. Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan seorang anak laki-laki dan dua orang cucu laki-laki dari anak laki-laki, maka seluruh warisannya jatuh kepada anak laki-laki, sedangkan dua orang cucunya tidak mendapatkan warisan sebab terhalang (terhijab) oleh anak laki-laki tersebut. Karena keadaan yang sangat tidak adil itu, maka undang-undang mengobati kekecewaan tersebut dengan apa yang disebut wasiat wajibah. Lembaga Wasiat Wajibah diterapkan di Mesir, yakni dalam Undang-Undang Wasiat Mesir nomor 71 tahun 1946. (Fatchur Rahman, 1981:64).

Dalam wasiat wajibah jumlah paling banyak yang dapat diterimaoleh si penerima warisan adalah sepertiga dari keseluruhan warisan. Halini juga sesuai dengan ketentuan mengenai wasiat dalam hukum kewarisan Islam. Jadi dalam keadaan apapun penerima wasiat wajibahpaling banyak menerima sepertiga dari keseluruhan warisan. Di sampingitu, dalam wasiat wajibah hanya cucu yang orang tuanya meninggal dunialebih dahulu dari pada pewaris saja yang dapat menerima warisan karenawasiat wajibah.Hazairin sampai pada kesimpulan bahwa hukum kewarisan Islam bercorak bilateral dan mengenal ahli waris pengganti. Kesimpulan beliautentang ahli waris pengganti itu didasarkan pada penafsiran Al-Qur’ansurat An-Nisa ayat 33, yang berbunyi sebagai berikut:“ Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orangyang kamu telah bersumpah setia dengan mereka maka berilahkepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segalasesuatu“.Oleh beliau mawali tersebut ditafsirkan sebagai ahli warispengganti. (Rachmad Budiono, 1999:32).

Selain itu, untuk membuktikan bahwa hukum kewarisanIslam mengenal ahli waris pengganti, beliau menguraikan juga bahwahukum kewarisan Islam bercorak bilateral. Dalam sistem kewarisan bilateral hak mewaris laki-laki sama dengan hak mewaris perempuan. Artinya baik laki-laki maupun perempuan sama–sama berhak mewaris. Kalau hak laki-laki dalam mewaris sama dengan hak perempuan, maka tidak dipersoalkan lagi. Pembaharuan hukum Islam khususnya masalah ahli waris pengganti, seseorang yang meninggal dunia terlebih dahulu di gantikan oleh keturunannya dalam hal ini anak untuk menerima warisan dari kakeknya. Pencantuman ahli waris pengganti dalam kompilasi hukum Islam dengan tujuan untuk memenuhi rasa keadilan hukum. (Rachmad Budiono, 1999:32).

Hazairin mengemukakan bahwa dengan pikiran logis menafsirkan Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 33 sebagai ayat yang menunjukkan bahwa dalam hukum kewarisan Islam dikenal adanya sistem ahli waris pengganti. Menurut beliau, tidak ada satu indikator (petunjuk) pun yang membuktikan bahwa cucu dari garis perempuan tidak dapat mewaris. Ahli waris pengganti berarti bahwa dari sejak semula bukan sebagai ahli waris, karena pertimbangan dan keadaan tertentu menerima warisan namun tetap dalam status bukan ahli waris. Meskipun masih memerlukan analisis lebih lanjut tetapi dapat ditegaskan bahwa hukum kewarisan Islam mengenal dan telah membuat aturan tentang ahli waris pengganti. Selanjutnya yang perlu dianalisis lebih lanjut adalah bagaimana sistem ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan Islam. (Rachmad Budiono, 1999:32).

Hukum waris berlaku karena adanya orang yang meninggal dunia (pewaris), meninggalkan harta benda dan ahli waris. Pewaris adalah orang meninggal dunia yang meninggalkan harta dan ahli waris. Hak orang yang meninggal terhadap hartanya telah hilang dan selanjutnya harta diserahkan kepada aturan Allah, yaitu melalui hukum pewarisan Islam. Hal lain yang masih harus ditunaikan dari orang yang meninggal dunia adalah wasiatnya, yaitu janji ketika masih hidup untuk memberikan sebagian hartanya kepada pihak lain. Hak wasiat ini juga dibatasi oleh syariat Islam, yaitu jumlahnya tidak boleh melampaui 1/3 dari jumlah harta yang ditinggalkan dan wasiat itu tidak boleh kepada ahli waris.Adapun harta yang ditinggalkan sebelum diatur berdasarkan hukum waris, terlebih dahulu ditentukan bahwa harta tersebut betul-betul milik orang yang meninggal dunia, bukan harta kerjasama atau harta bersama antara dirinya dengan istri/suaminya. Dari harta milik pribadinya, dibayarkan terlebih dahulu biaya perawatan dan penguburan jenazahnya dan jika memiliki utang dibayarkan terlebih dahulu untuk melunasi utang dan memenuhi wasiatnya. Seseorang menjadi ahli waris disebabkan oleh adanya pernikahan, hubungan darah atau kekerabatan, dan hubungan antara tuan dan budak belian yang dimerdekakannya. (Prof. Dr. Azyumardi Azra, dkk,2002:194-195).

Syarat dan Rukun Pembagian Waris

1.      Syarat Pembagian Waris
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan, yaitu:

a.    Meninggal dunianya pewaris
Yang dimaksud dengan meninggal dunia adalah baik meninggal dunia hakiki (sejati), meninggal dunia hukmi (menurut putusan hakim) dan meninggal dunia taqdiri (menurut dugaan). Lebih lanjut mengenai pengertian mati hakiki, hukmi dan taqdiri adalah sebagai berikut :

1.      Mati hakiki, yaitu kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus melalui pembuktian, bahwa seseorang telah meninggal dunia.
2.      Mati hukmi, yaitu kematian seseorang yang secara yuridis ditetapkan melalui keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Ini bisa terjadi seperti dalam kasus seseorang yang dinyatakan hilang, tanpa diketahui di mana dan bagaimana keadannya. Setelah dilakukan upaya-upaya tertentu, melalui keputusan hakim orang tersebut dinyatakan meninggal dunia.
3.      Mati taqdiri, yaitu anggapan atau perkiraan bahwa seseorang telah meninggal dunia. Misalnya, seseorang yang diketahui ikut berperang ke medan perang. Setelah beberapa tahun, ternyata tidak diketahui kabar beritanya, dan patut diduga secara kuat bahwa orang tersebut telah meninggal dunia, maka ia dapat dinyatakan telah meninggal.

b.    Hidupnya ahli waris

Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat pewaris meninggal dunia. Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai warisan yang ditinggalkan oleh pewaris. Perpindahan hak tersebut diperoleh melalui jalan kewarisan. Oleh karena itu, sesudah pewaris meninggal dunia, ahli warisnya harus benar-benar hidup.

c.    Mengetahui status kewarisan

Agar seseorang dapat mewarisi harta orang meninggal dunia, haruslah jelas hubungan antara keduanya. Misalnya, hubungan suami-isteri, hubungan orangtua-anak dan hubungan saudara, baik sekandung, sebapak maupun seibu. (Amir Syarifudin, 2008: 34-35).
Ahli waris yang disebabkan oleh proses pernikahan adalah suami dan istri yang apabila salah seorang meninggal lebih dulu yang lain mendapatkan harta warisan. Ahli waris yang disebabkan oleh hubungan darah atau kekerabatan adalah anak kandung, cucu, dan seterusnya ke bawah, bapak, kakek, dan seterusnya ke atas, serta saudara-saudara dan seterusnaya ke samping. Hak pewarisan bisa gugur disebabkan karena ahli waris yang menjadi sebab meninggalnya pewaris dan ahli waris yang murtad. Pembunuhan yang dilakukan ahli waris kepada pewarisnya menyebabkan gugurnya hukum pewarisan baik karena hubungan darah maupun pernikahan. Karena pembunuhan merupakan dosa besar yang sangat dibenci Allah apa lagi pengalihan harta secara paksa melalui pembunuhan. Apabila seseorang ahli waris membunuh pewaris, misalnya seseorang anak membunuh ayahnya maka ia tidak berhak mendapatkan warisan.Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap pewarisnya menyebabkan ia terhalang haknya untuk mewarisi. Karena itu, yang terpenting adalah bagaimana membuktikan bahwa seseorang telah bersalah melakukan pembunuhan terhadap si pewaris. Mengingat, banyak cara yang ditempuh seseorang untuk mengahabisi nyawa orang lain, termasuk si korban adalah keluarganya sendiri.Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa membunuh seorang korban, maka ia tidak berhak mewarisinya,meskipun korban tidak mempunyai ahli waris lainnya selain dirinya, baik itu orang tuanya, atau anaknya maka bagi pembunuh tidak berhak atas warisan “. (Riwayat Ahmad).

Para ulama Hanafiyah membagi pembunuhan menjadi dua jenis yaitu Pembunuhan langsung (mubasyarah) dan pembunuhan tidak langsung (tasabub). Pembunuhan yang langsung tersebut dibagi lagi menjadi empat, yakni pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan yang serupa sengaja, pembunuhan yang dipandang tidak sengaja. Sedangkan pembunuhan tidak langsung, misalnya seseorang membuat lubang di kebunnya, kemudian ada orang yang terperosok ke dalam lubang tadi dan meninggal dunia. Matinya korban disebabkan perbuatan tidak langsung oleh orang yang membuat lubang tersebut. Menurut para ulama Hanafiyah pembunuhan langsung merupakan penghalang untuk mewaris, sedangkan pembunuhan tidak langsung, bukan penghalang untuk mewaris. (A. Rachmad Budiono, 1999: 12).
Ahli waris yang murtad atau pindah agama menyebabkan hilangnya hak waris mewarisi, karena dalam ajaran Islam hubungan agama jauh lebih utama dari hubungan darah.Di samping itu di antara ahli waris terdapat pula kelompok yang dapat menghalangi (hijab) ahli waris lain sehingga ahli waris itu berkurang bagiannya atau sama sekali tidak memperoleh bagian. Hijab ada dua macam, yaitu hijab hirman dan hijab nuqsan. Hijab hirman adalah menghalangi sama sekali sehingga ahli waris lain tidak mendapatkan bagian. Miasalnya, cucu adalah ahli waris dari kakeknya, tetapi karena kakek meninggalkan anak laki-laki, maka cucu tidak memperoleh bagian. Sedangkan hijab nuqsan adalah menghalangi ahli waris lain, sehingga ahli waris itu berkurang bagiannya. 

Misalnya, suami memperoleh separo harta peninggalan istrinya, tetapi karena istrinya itu memiliki anak, maka bagiannya berkurang menjadi seperempat. (Prof. Dr. Azyumardi Azra, dkk,2002 : 195-196).

Adanaya hijab karena sistem pewarisan Islam menganut prinsip yang paling dekat kekerabatannya lebih utama memperoleh bagian. Pembagian harta pusaka bagi ahli waris laki-laki dan perempuan diatur berdasarkan azas keseimbangan antara hak dan tanggung jawab, bukan atas dasar kesamaan status kekerabatan. Karena itu pemahaman tentang sistem kewarisan Islam tidak bisa dilepaskan dari hak dan kewajiban suami istri dalam sistem keluarga Islam. Laki-laki dalam kelurga adalah kepala dan penanggung jawab keluarga, karena itu suamilah yang wajib menafkahi istri dan anak-anaknya. Sedangkan perempuan atau istri tidak diwajibkan untuk menafkahi suaminya. Oleh Karen itu laki-laki layak memperoleh lebih besar dari perempuan dilihat dari tanggung jawabnya terhadap keluarganaya.Sistem kewarisan diatur dan ditetapakan dalam ajaran Islam untuk melindungi keluarga dari perselisihan dan perpecahan serta menjamin hak-hak anggota keluarga atas harta yang ditinggalkan. Dengan demikian hak-hak pemilihan atas harta pusaka dapat diserahkan kepada ahli warisnya secara adil. (Prof. Dr. Azyumardi Azra, dkk,2002 : 196).

2. Rukun Pembagian Waris

Adapun beberapa rukun pembagian waris yaitu (1) pewaris, (2) harta warisan, dan (3) ahli waris. Ketiga unsur tersebut saling berkaitan, dan masingmasing mempunyai ketentuan tersendiri. Hal ini diuraikan sebagai berikut : Pewaris (Al-Muwarris) Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya beragama Islam, meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih hidup. Istilah pewaris secara khusus dikaitkan dengan suatu proses pengalihan hak atas harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup. Oleh karena itu, seseorang yang masih hidup dan mengalihkan haknya kepada keluarganya tidak dapat disebut pewaris, meskipun pengalihan itudilakukan pada saat menjelang kematiannya. (Amir Syarifudin, 2008: 36).


KESIMPULAN
        Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan yang memegang peranan penting, bahkan menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat. Hukum kewarisan sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia karena terkait dengan harta kekayaan dan manusia yang satu dengan yang lainnya. Kematian atau meninggal dunia adalah peristiwa yang pasti akan dialami oleh seseorang, karena kematian merupakan akhir dari perjalanan hidup seorang manusia. Jika orang yang meninggal dunia yang dikenal dengan pewaris meninggalkan keluarga dan harta kekayaan yang disebut warisan. Menurut hukum kewarisan Islam, bagian yang diterima ahli waris pengganti belum tentu sama dengan bagian orang yang digantikan, dan juga tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti, tetapi mungkin berkurang, dalam pembagian harta warisan ahli warispengganti laki-laki menerima lebih banyak dari pada perempuan. Menurut hukum kewarisan Islam bahwa penggantian ahli waris dalam garis lurus keatas, garis lurus kebawah dan gariske samping. Hak pewarisan bisa gugur disebabkan karena ahli waris yang murtad, hijab, pembunuhan.



DAFTAR PUSTAKA
 

Ali Zainuddin. (2008). Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Azra Ayumardi, dkk. (2002). Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan     Tinggi Umum. Jakarta:
Budiono Rachmad. (1999). Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia.     Bandung:     PT.Citra Aditya Bakti.
Djakfar Idris dan Taufik Yahya. (1995). Kompilasi Hukum Kewarisan Islam. Jakarta:     PT.Dunia Pustaka Jaya.
Hazairin. (1964). Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur’an dan Hadith. Jakarta:     Tintamas.
Rahman Fathur. (1981). Ilmu Waris. Bandung : PT.Alma’arif.
Syarifuddin Amir. (2008). Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media    Group.
Thalib Sajuti. (1982). Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta : Bina Aksara.




0 Response to "HUKUM WARIS DALAM ISLAM"

Post a Comment

SITEMAP

Contak Us