KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh
Segala puji bagi Allah yang telah
menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa
pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik.
Makalah ini di susun oleh penyusun
dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang
datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari
Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini memuat tentang Perbedaan
Ekonomi Islam dengan Ekonomi Kontemporer yang sengaja penulis pilih karena
menarik perhatian penulis untuk dicermati dan perlu mendapat dukungan dari
semua pihak.
Penyusun juga mengucapkan terima
kasih kepada guru / dosen pembimbing yang telah banyak membantu penyusun agar
dapat menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan
wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan
dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.
wssalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………
i
DAFTAR ISI ……………………………………… ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………… 1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ekonomi Islam ……………………………………… 2
B. Dasar Ekonomi Islam ……………………………………… 2
C. Ekonomi Islam Kontemporer ……………………………………… 3
BAB III PENUTUP
A. SIMPULAN ……………………………………… 8
B. SARAN ………………………………………. 8
DAFTAR
PUSTAKA ......................................................... 9
ii
BAB I
PENDAHULUAN
M.A. Manan (1992:19) di dalam
bukunya yang berjudul “Teori dan Praktik Ekonomi Islam” menyatakan bahwa ekonoi
islam adalah ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah ekonomi rakyat
yang di ilhami oleh nilai-nilai islam. Sementara itu, H. Halide berpendapat
bahwa yang di maksud dengan ekonomi islam ialah kumpulan dasar-dasar umum
ekonomi yang dii simpulkan dari Al-Qur’an dan sunnah yang ada hubungannya
dengan urusan ekonomi (dalam Daud Ali, 1988:3).
Sistem ekonomi islam adalah
sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang di simpulkan dari Al-Qur’an dan
sunnah, dan merupakan bangunan perekonomian yang di dirikan atas landasan
dasar-dasar tersebut yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan masa.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERBEDAAN
EKONOMI ISLAMI DENGAN EKONOMI KONTEMPORER
1. Pengertian dan Prinsip Dasar Ekonomi Syariah
Para
pakar ekonomi Islam memberikan definisi ekonomi Islam yang berbeda-beda, akan
tetapi semuanya bermuara pada pengertian yang relatif sama. Menurut M. Abdul
Mannan, ekonomi Islam adalah “sosial science which studies the
economics problems of people imbued with the values of Islam”.
Dari
berbagai definisi tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa ekonomi Islam adalah
suatu ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, meninjau, meneliti, dan
akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang
Islami (berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam). Sedangkan prinsip-prinsip dasar
ekonomi Islam menurut Umer Chapra adalah sebagai berikut:
1.
Prinsip Tauhid. Tauhid adalah fondasi keimanan Islam. Ini bermakna bahwa segala
apa yang di alam semesta ini didesain dan dicipta dengan sengaja oleh Allah
SWT, bukan kebetulan, dan semuanya pasti memiliki tujuan
2.
Prinsip khilafah. Manusia adalah khalifah Allah SWT di muka bumi. Ia dibekali
dengan perangkat baik jasmaniah maupun rohaniah untuk dapat berperan secara
efektif sebagai khalifah-Nya. Implikasi dari prinsip ini adalah: (1)
persaudaraan universal, (2) sumber daya adalah amanah, (3), gaya hidup
sederhana, (4) kebebasan manusia.
3.
Prinsip keadilan. Keadilan adalah salah satu misi utama ajaran Islam. Implikasi
dari prinsip ini adalah: (1) pemenuhan kebutuhan pokok manusia, (2)
sumber-sumber pendapatan yang halal dan tayyib, 3) distribusi pendapatan dan
kekayaan yang merata, (4) pertumbuhan dan stabilitas.
2.
Landasan Filosofi dan Welstanchaung
Banyak
sekali keterangan dari Al-Quran yang menyinggung masalah ekonomi, baik secara
eksplisit maupun implisit. Bagaimana jual beli yang baik dan sah menurut Islam,
pinjam meminjam dengan akad-akad yang sah sampai dengan pelarangan riba dalam
perekonomian. Walaupun pada kitab suci sebelumnya juga pernah disebutkan,
dimana perbuatan riba itu dibenci Tuhan. Sedangkan pada tatanan teknisnya
diperjelas dengan hadis serta teladan dari Rasulullah dan para alim ulama.
Tujuan
utama Syari‘at Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahahan umat manusia, baik di
dunia maupun di akhirat. Ini sesuai dengan misi Islam secara keseluruhan yang rahmatan
lil‘alamin. Al-Syatibi dalam al-Muwafaqat menegaskan:
ومعلوم ان الشريعة انما وضعت لمصالح
الخلق باطلاق
Artinya:
“Telah diketahui bahwa syariat Islam itu disyariatkan/diundangkan untuk
mewujudkan kemaslahahan makhluk secara mutlak”. Dalam ungkapan yang lain Yusuf
al-Qaradawi menyatakan:
اينما كانت المصلحة فثم حكم الله
Dua
ungkapan tersebut menggambarkan secara jelas bagaimana eratnya hubungkait
antara Syariat Islam dengan kemaslahahan. Ekonomi Islam yang merupakan salah
satu bagian dari Syariat Islam, tujuannya tentu tidak lepas dari tujuan utama
Syariat Islam. Tujuan utama ekonomi Islam adalah merealisasikan tujuan manusia
untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (falah), serta kehidupan
yang baik dan terhormat (al-hayah al-tayyibah). Ini merupakan definisi kesejahteraan
dalam pandangan Islam, yang tentu saja berbeda secara mendasar dengan
pengertian kesejahteraan dalam ekonomi konvensional yang sekuler dan
materialistik. Dengan demikian tujuan sistem ekonomi Islam adalah berkait
dengan tujuan yang tidak hanya memenuhi kesejahteraan hidup di dunia saja
(materialis) namun juga kesejahteraan hidup yang lebih hakiki (akhirat). Allah
SWT sebagai puncak tujuan, dengan mengedepankan pencarian keridloan-Nya dalam
segala pola perilaku sejak dari konsumsi, produksi hingga distribusi.
Secara
terperinci, tujuan ekonomi Islam dapat dijelaskan sebagai berikut: (1)
Kesejahteraan ekonomi adalah tujuan ekonomi yang terpenting. Kesejahteraan ini
mencakup kesejahteraan individu, masyarakat dan negara. (2) Tercukupinya
kebutuhan dasar manusia, meliputi makan, minum, pakaian, tempat tinggal,
kesehatan, pendidikan, keamanan serta sistem negara yang menjamin terlaksananya
kecukupan kebutuhan dasar secara adil. (3) Penggunaan sumber daya secara
optimal, efisien, efektif, hemat dan tidak membazir. (4) Distribusi harta,
kekayaan, pendapatan dan hasil pembangunan secara adil dan merata. (5) Menjamin
kebebasan individu. (6) Kesamaman hak dan peluang. (7) Kerjasama dan keadilan.[24]
Manusia
perlu bertindak rasional karena ia mempunyai beberapa kelebihan dibanding
ciptaan Allah yang lainnya. Manusia dianggap bertindak rasional apabila
.individu tersebut mengarahkan perilakunya untuk mencapai tahapan maksimum
sesuai dengan norma-norma Islam.[30]
Individu rasional adalah individu yang berusaha memaksimumkan al-falah dibanding
memaksimumkan kepentingan diri sendiri.
Konsep
asas rasionalisme Islam menurut Monzer Kahf[31]:
1.
Konsep kesuksesan
Islam
membenarkan individu untuk mencapai kesuksesan di dalam hidupnya melalui
tindakan-tindakan ekonomi, namun kesuksesan dalam Islam bukan hanya kesuksesan
materi akan tetapi juga kesuksesan di hari akhirat dengan mendapatkan keridhaan
dari Allah SWT. Kesuksesan dalam kehidupan muslim diukur dengan moral agama
Islam, bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki.
2. Jangka waktu perilaku
konsumen
Dalam
pandangan Islam kehidupan dunia hanya sementara dan masih ada kehidupan kekal
di akhirat. Maka dalam mencapai kepuasan perlu ada keseimbangan pada kedua
tempoh waktu tersebut, demi mencapai kesuksesan yang hakiki.
3.
Konsep kekayaan
Kekayaan dalam
konsep Islam adalah amanah dari Allah SWT dan sebagai alat bagi individu untuk
mencapai kesuksesan di hari akhirat nanti, sedangkan menurut pandangan
konvensional kekayaan adalah hak individu dan merupakan pengukur tahap
pencapaian mereka di dunia.
4.
Konsep barang
Konsep
barang dalam pandangan Islam selalu berkaitan dengan nilai-nilai moral. Dalam
al-Quran dinyatakan dua bentuk barang yaitu: al-tayyibat (barangan yang
baik, bersih, dan suci serta berfaedah) dan barangan al-rizq (pemberian
Allah, hadiah, atau anugerah dari langit) yang bisa mengandung halal dan haram.
5.
Etika konsumen
Islam
tidak melarang individu dalam menggunakan barang untuk mencapai kepuasan
selama individu tersebut tidak mengkonsumsi barang yang haram dan berbahaya atau
merusak. Islam melarang mengkonsumsi barang untuk israf (pembaziran) dan
tabzir (spending in the wrong way) seperti suap, berjudi dan
lainnya.
Rasionaliti
dalam ekonomi Islam, senantiasa memperhatikan maslahah untuk diri,
keluarga dan masyarakat, utiliti bukanlah suatu prioritas, walau tidak dibuang.
Implikasi pengaplikasian konsep need ini dalam mewujudkan maslahah adalah
sebagai berikut:
1.
Menghindarkan diri dari sikap israf (berlebih-lebihan melampaui batas).
Seorang
konsumen muslim akan selalu mempertimbangkan maslahah bagi diri dan
masyarakatnya dalam mengkonsumsi suatu barang atau jasa dan menghindari sikap israf.
2. Mengutamakan akhirat daripada dunia.
Pada
asasnya seorang muslim akan dihadapkan pada dua pilihan yaitu di antara mengkonsumsi
barang ekonomi yang bersifat duniawi saja dan yang bersifat ibadah (ukhrawi).
Pengunaan barang atau jasa untuk keperluan ibadah bernilai lebih tinggi dari
konsumsi untuk duniawi.
Konsumsi
untuk ibadah lebih tinggi nilainya karena orientasinya adalah al-falah yang
akan mendapatkan pahala dari Allah SWT, sehingga lebih bertujuan untuk
kehidupan akhirat kelak
3.
Konsisten dalam prioritas pemenuhan keperluan (daruriyyah, hajiyyah, dan
tahsiniyyah)
Keperluan
manusia dalam konsumsi memiliki tingkat kepentingan yang tidak selalu sama.
Terdapat prioritas-prioritas di antara satu dengan lainnya yang menunjukkan
tingkat kemanfaatan dan kemendesakan dalam pemenuhannya.
4.
Memperhatikan etika dan norma[43]
Syariah
Islam memiliki seperangkat etika dan norma yang mesti dipedomani dalam semua
aktivitas kehidupan. Beberapa etika misalnya kesederhanaan, keadilan,
kebersihan, halalan toyyiba, keseimbangan, dan lain-lain. Ringkasnya, seorang
muslim dalam beraktivitas, khususnya dalam mengkonsumsi barang atau jasa
mestilah berpedoman pada etika dan norma yang telah ditetapkan oleh syariat
Islam.
Menurut
Anas Zarqa’,[44]
perilaku muslim yang rasional dalam mengaplikaiskan konsep need akan mendorong
individu untuk berada pada suatu tingkat yang berada di antara pembaziran dan
kecukupan. Rasional dalam mengkonsumsi menurut modelnya adalah:
1.
Konsumen yang rasional tidak akan berpuas hati sebelum sampai ke tahap barang
kecukupan yang mampu diusahakan, karena akan dihukum bersalah dan dianggap
menimbulkan penganiayaan terhadap diri dan keluarga.
2.
Tidak melebihi garis pembaziran, karena dilarang Islam
3.
Konsumen tidak menggunakan barang terlarang, karena berkibat buruk di akhirat.
4.
Bersedia share sebagian dari konsumsinya dengan orang lain atas sikap
mematuhi prinsip Islam seperti zakat, sadaqah, infaq.
B. Ekonomi Islam Kontemporer
Pemikiran ekonomi
Islam kontemporer ini merupakan buah pikiran dari para ekonom Muslim pada abad
ke-20 Masehi. Jika dalam pemikiran ekonomi Islam klasik dibagi menjadi 3 fase,
maka pemikiran ekonomi Islam kontemporer ini dibagi menjadi 3 aliran, yaitu
aliran Iqtishādunā, aliran Mainstream, dan aliran Alternatif.
Masing-masing dari ketiga aliran ini memiliki corak pemikiran yang
berbeda-beda.
1. Aliran
Iqtishādunā
Corak
utama dari aliran ini adalah pemikirannya tentang masalah ekonomi yang muncul
karena adanya distribusi yang tidak merata dan tidak adil sebagai akibat dari
sistem ekonomi yang membolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang
lemah. Yang kuat memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat
kaya.
Sementara
yang lemah tidak memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat
miskin. Karena itu, masalah ekonomi muncul bukan karena sumber daya yang tidak
terbatas, tetapi karena keserakahan manusia yang tidak terbatas.
Aliran ini
menolak pernyataan yang menyatakan bahwa masalah ekonomi disebabkan oleh adanya
keinginan manusia yang tak terbatas sementara sumber daya alam yang tersedia
jumlahnya terbatas. Karena hal tersebut bertentangan dengan firman Allah: “Sesungguhnya
Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Q.S. al-Qamar: 49).
Aliran ini
dipelopori oleh Baqir Sadr. Nama aliran ini pun diambil dari nama karyanya Iqtishādunā.
Menurutnya, ekonomi Islam adalah cara atau jalan yang dipilih oleh Islam untuk
dijalani dalam rangka mencapai kehidupan ekonominya dan dalam memecahkan
masalah ekonomi praktis sejalan dengan konsepnya tentang keadilan. Baginya,
Islam tidak mengurusi hukum permintaan dan penawaran … (tidak pula) hubungan
antara laba dan bunga bank … (tidak pula) fenomena diminishing returns
di dalam produksi, yang baginya merupakan ”ilmu ekonomi”. Jadi menurutnya,
ekonomi Islam adalah doktrin karena ia membicarakan semua aturan dasar
dalam kehidupan ekonomi dihubungkan dengan ideologinya mengenai keadilan
sosial. Sebagai doktrin, sistem ekonomi Islam juga berhubungan dengan
pertanyaan ”apa yang seharusnya” berdasarkan kepercayaan, hukum, konsep dan
definisi yang diambil dari Al-Qur’an dan Hadits. Di dalam doktrin ekonomi Sadr,
keadilan menempati posisi sentral, sehingga menjadi tolak ukur untuk menilai
teori, kegiatan dan output ekonomi.
2. Aliran
Mainstream
Corak
utama dari pemikiran aliran ini adalah kebalikan dari aliran Iqtishādunā
dalam memandang masalah ekonomi. Menurut aliran ini, masalah ekonomi timbul
memang dikarenakan kelangkaan (scarcity) Sumber Daya Alam sementara
keinginan manusia tidak terbatas. Untuk itu, manusia diarahkan untuk melakukan
prioritas dalam memenuhi segala kebutuhannya. Dan keputusan dalam menentukan
skala prioritas tersebut tidak dapat dilakukan semaunya sendiri karena dalam
Islam sudah ada rujukannya sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Aliran ini
ditokohi oleh 4 tokoh utama, yaitu Muhammad Abdul Mannan, Muhammad Nejatullah
Siddiqi, Syed Nawab Haidar Naqvi, dan Monzer Kahf.
a.
Muhammad Abdul Mannan.
Pemikiran
ekonominya dituangkan dalam karya-karyanya; Islamic Economics: Theory and
Practice (1970) dan The Making of Islamic Economic Society (1984).
Ia mendefinisikan ekonomi Islam sebagai “ilmu pengetahuan sosial yang
mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai
Islam.”
Ketika
ekonomi Islam dihadapkan pada masalah ”kelangkaan”, maka bagi Mannan, sama saja
artinya dengan kelangkaan dalam ekonomi Barat. Bedanya adalah pilihan individu
terhadap alternatif penggunaan sumber daya, yang dipengaruhi oleh keyakinan
terhadap nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, menurut Mannan, yang membedakan
sistem ekonomi Islam dari sistem sosio-ekonomi lain adalah sifat motivasional
yang mempengaruhi pola, struktur, arah dan komposisi produksi, distribusi dan
konsumsi. Dengan demikian, tugas utama ekonomi Islam adalah menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruhi asal-usul permintaan dan penawaran sehingga
dimungkinkan untuk mengubah keduanya ke arah distribusi yang lebih adil.
b.
Muhammad Nejatullah Siddiqi.
Pemikiran
ekonominya dituangkan dalam karya-karyanya; The Economic Enterprise in Islam
(1971) dan Some Aspects of The Islamic Economy (1978). Ia mendefinisikan
ekonomi Islam sebagai “respon para pemikir muslim terhadap tantangan ekonomi
yang dihadapi pada zaman mereka masing-masing. Dalam usaha ini, mereka dibantu
oleh Qur’an dan Sunnah, baik sebagai dalil dan petunjuk maupun sebagai
eksprimen.” Siddiqi menolak determinisme ekonomi Marx. Baginya, ekonomi
Islam itu modern, memanfaatkan teknik produksi terbaik dan metode organisasi
yang ada. Sifat Islamnya terletak pada basis hubungan antarmanusia, di samping
pada sikap dan kebijakan-kebijakan sosial yang membentuk sistem tersebut.
Ciri utama yang membedakan perekonomian Islam
dan sistem-sistem ekonomi modern yang lain, menurutnya, adalah bahwa di dalam
suatu kerangka Islam, kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi merupakan sarana
untuk mencapai tujuan spritual dan moral. Oleh karena itu, ia mengusulkan
modifikasi teori ekonomi Neo-Klasik konvensional dan peralatannya untuk
mewujudkan perubahan dalam orientasi nilai, penataan kelembagaan dan tujuan
yang dicapai.
c. Syed
Nawab Haidar Naqvi.
Pemikiran
ekonominya dituangkan dalam karyanya; Ethics and Economics: An Islamic
Synthesis (1981). Ia mendefinisikan ekonomi Islam sebagai “perilaku
muslim sebagai perwakilan dari ciri khas masyarakat muslim.” Ada 3 tema
besar yang mendominasi pemikiran Naqvi dalam ekonomi Islam. Pertama,
kegiatan ekonomi dilihat sebagai suatu subjek dari upaya manusia yang lebih
luas untuk mewujudkan masyarakat yang adil berdasarkan pada prinsip etika
ilahiyyah, yakni keadilan (Al-’Adl) dan kebajikan (Al-Ihsān).
Menurutnya, hal itu berarti bahwa etika harus secara eksplisit mendominasi
ekonomi dalam ekonomi Islam, dan faktor etika inilah yang membedakan sistem
ekonomi Islam dari sistem ekonomi lainnya.
Kedua, melalui prinsip Al-’Adl wa Al-
Ihsān, ekonomi Islam memerlukan suatu bias yang melekat dalam
kebijakan-kebijakan yang memihak kaum miskin dan lemah secara ekonomis. Bias
tersebut mencerminkan penekanan Islam terhadap keadilan, yang ia terjemahkan
sebagai egalitarianisme. Ini adalah suatu butir penting yang sering kali ia
tekankan dalam tulisannya. Dan ketiga adalah diperlukannya suatu peran
utama negara dalam kegiatan ekonomi. Negara tidak hanya berperan sebagai
regulator kekuatan-kekuatan pasar dan penyedia (supplier) kebutuhan
dasar, tetapi juga sebagai partisipan aktif dalam produksi dan distribusi, baik
di pasar barang maupun faktor produksi, demikian pula negara berperan sebagai
pengontrol sistem perbankan. Ia melihat negara Islam sebagai perwujudan atau
penjelmaan amanah Allah tatkala ia meletakkan negara sebagai penyedia, penopang
dan pendorong kegiatan ekonomi.
d. Monzer
Kahf.
Pemikiran
ekonominya dituangkan dalam karyanya; The Islamic Economy: Analytical of The
Functioning of The Islamic Economic System (1978). Ia tidak mengusulkan suatu
definisi ”formal” bagi ekonomi Islam, tetapi karena ilmu ekonomi berhubungan
dengan perilaku manusia dalam hal produksi, distribusi dan konsumsi, maka
ekonomi Islam, menurutnya, dapat dilihat sebagai sebuah cabang dari ilmu
ekonomi yang dipelajari dengan berdasarkan paradigma (yakni aksioma, sistem
nilai dan etika) Islam, sama dengan studi ekonomi Kapitalisme dan ekonomi
Sosialisme. Dengan pandangannya ini, ia mencela kelompok-kelompok ekonom Islam
tertentu. Ia menengarai suatu kelompok yang mencoba untuk menekankan dengan
terlalu keras perbedaan antara ekonomi Islam dan Barat. Kelompok itu tidak
memahami bahwa perbedaan antara keduanya sebenarnya terletak pada filosofi dan
prinsipnya, bukan pada metode yang digunakan. Di pihak lain, terdapat juga
kelompok lain yang secara implisit menerima asumsi-asumsi ekonomi Barat yang
sarat nilai. Kelompok lain yang ia tegur adalah mereka yang mecoba menyamakan
antara ekonomi Islam dan Fiqih Mu’amalat. Kelompok ini, menurutnya, telah
menyempitkan ekonomi Islam sehingga hanya berisi sekumpulan perintah dan
larangan saja, padalah seharusnya mereka membicarakan hal-hal seperti teori
konsumsi atau teori produksi. Semua kelompok tersebut tidak memahami posisi
ekonomi Islam dalam kerangka atau kategorisasi cabang ilmu pengetahuan serta
tidak pula bisa memisah-misahkan berbagai seginya seperti filosofinya, prinsip
atau aksiomanya, serta fungsi aktualnya.
3. Aliran
Alternatif
Aliran ini
dikenal sebagai aliran yang kritis secara ilmiah terhadap ekonomi Islam, baik
sebagai ilmu maupun sebagai peradaban.
Aliran ini
mengkritik kedua aliran sebelumnya. Aliran Iqtishādunā dikritik karena
dianggap berusaha menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya sudah ditemukan
tokoh-tokoh sebelumnya, sedangkan aliran Mainstream dikritik sebagai jiplakan
ekonomi aliran Neo-Klasik dan Keynesian dengan menghilangkan unsur riba serta
memasukkan variabel zakat dan akad, sehingga tidak ada yang orisinil dari
aliran ini. Namun aliran ini tidak hanya mengkritik ekonomi Islam saja, ekonomi
konvensional pun juga telah dikritik.
Tokoh-tokoh
aliran ini adalah Timur Kuran, Sohrab Behdad, dan Abdullah Saeed.
a. Timur
Kuran.
Ia adalah
seorang dosen ekonomi di Southern California University, USA. Pemikirannya bisa
ditemukan dalam tulisan artikel-artikelnya, yaitu; “The Economyc System in
Contemporary Islamic Thought: Interpretation and Assessment”, dalam International
Journal of Middle East Studies Volume 18 tahun 1986, dan “On The Notion
of Economic Justice in Contemporary Islamic Thought”, dalam International
Journal of Middle East Studies Volume 21 tahun 1989.
b. Sohrab
Behdad.
Pemikirannya
dapat ditemukan dalam tulisan artikelnya yang berjudul “Property Rights in
Contemporary Islamic Economic Thought: A Critical Perspective” dalam jurnal
Review of Social Economy Volume 47 tahun 1989.
c.
Abdullah Saeed.
Ia adalah
seorang Profesor Studi Arab-Islam di University of Melbourne, Australia.
Pemikirannya bisa ditemukan dalam tulisan artikel-artikelnya, yaitu; “Islamic
Banking in Practice: A Critical Look at The Murabaha Financing Mechanism”
dalam Journal of Arabic, Islamic & Middle Eastern Studies tahun
1993, dan “The Moral Context of The Prohibition of Riba in Islam Revisited”
dalam American Journal of Islamic Social Science tahun 1995.
8
BAB III
PENUTUP
Mursyid Al-Idrisiyyah mendefinisikan
ekonomi islam dengan menggunakan kalimat-kalimat sederhana, yaitu seluruh
bentuk kegiatan ekonomi yang berdasarkan prinsip-prinsip Islam yang bersumber
kepada Al Quran dan As Sunah yang diijtihadi oleh mursyid. Kedudukan
mursyid memiliki perananan yang cukup urgen termasuk dalam memberikan curah
pemikiran mengenai konteks ekonomi islam, sesuai dengan tuntutan dan
perkembangan zaman juga mampu mensosialisasikan dan memobilisasi umat untuk
berekonomi Islami dengan uswah (teladan) dan kharismanya.
Pemikiran ekonomi Islam kontemporer
ini merupakan buah pikiran dari para ekonom Muslim pada abad ke-20 Masehi. Jika
dalam pemikiran ekonomi Islam klasik dibagi menjadi 3 fase, maka pemikiran
ekonomi Islam kontemporer ini dibagi menjadi 3 aliran, yaitu aliran Iqtishādunā,
aliran Mainstream, dan aliran Alternatif. Masing-masing dari ketiga
aliran ini memiliki corak pemikiran yang berbeda-beda.
9
DAFTAR PUSTAKA
AbulHasan M. Sadeq, 1992, “Islamic
Economic Thought”, dalam AbulHasan M. Sadeq dan Aidit Ghazali (eds.), Readings
in Islamic Economic Thought, Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn. Bhd.
Ahmad, Khursid, 1992, dalam M. Umer
Chapra, What is Islamic Economics, (Jeddah: IRTI – IDB.
Al-Syatibi, t.t., al-Muwafaqat fi
Usul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, juz 2.
Chapra, M. Umer, 1995, Islam and
Economic Challenge, USA: IIIT dan The Islamic Foundation.
0 Response to "MAKALAH PERBEDAAN EKONOMI ISLAM DENGAN KONTEMPORER"
Post a Comment