Wayne A. M Visser dan Alastair McIntosh (1998 : 175 – 189)
dalam A Short Review of the Historical Critique of Usury menjelaskan bahwa
praktek riba setidaknya sudah berjalan sejak empat ribu tahun yang lalu dan
selama sejarah itu pula, praktek ini dikutuk, dilarang, dihina dan dihindari.
Pada masa Yunani, sekitar abad VI Sebelum Masehi hingga I
Masehi, telah terdapat beberapa jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi
tergantung kegunaannya.
Plato (427–347 SM) mengecam sistem bunga berdasarkan
dua alasan. Pertama, bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam
masyarakat. Kedua, bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi
golongan miskin.
Roma terdapat pembatasan suku bunga menjadi 10% saja.
Tahun 342 SM, diumumkan adanya lex genucia yang melarang
pengambilan buku berapapaun tingkatannya sehingga membungakan uang sama dengan
kejahatan.
Beberapa pengecualian juga terjadi misalnya pemberian uang
muka untuk perdagangan laut (foenus naticum) .
Pada masa Kaisar Justinian, tinggi bunga diatur hingga 6%
untuk penjaman umum, 8% untuk kerajinan dan perdagangan, 4% untuk bangsawa
tinggi, dan tetapi 12% untuk perdagangan maritim.
Adanya pengecualian inilah yang menimbulkan peluang riba
dimana para bangsawan Romawi tergiur dan akhirnya juga berupaya mendapatkan
penghasilan dari riba.
Riba dalam Hindu dan Budha
Praktek riba (rente) dalam agama Hindu dan Budha dapat kita
temukan dalam naskah kuno India. Teks – teks Veda India kuno (2.000-1.400 SM)
mengkisahkan “lintah darat” (kusidin) disebutkan sebagai pemberi pinjaman
dengan bunga. Atau dalam dalam teks Sutra (700-100 SM) dan Jataka Buddha
(600-400 SM) menggambarkan situasi sentimen yang menghina riba.
Sebagai contoh, Vasishtha, seorang Hindu terkenal pembuat
hukum waktu itu, membuat undang-undang khusus yang melarang kasta yang lebih
tinggi dari Brahmana (pendeta) dan Ksatria (pejuang) menjadi rentenir atau
pemberi pinjaman dengan bunga tinggi. Juga, dalam Jataka, riba disebut sebagai
“hypocritical ascetics are accused of practising it”. Pada abad kedua, riba
telah menjadi istilah yang lebih relatif, seperti yang tersirat dalam hukum
Manu, “ditetapkan bunga melampaui tingkat hukum yang berlaku.
Riba dalam Agama Yahudi
Riba (rente) dalam Yudaisme sangat dicerca dan dicemooh.
Kata Ibrani untuk bunga ‘neshekh‘, secara harfiah berarti “menggigit”.
Pengertian ini merujuk pada bunga tinggi yang menyengsarakan. Dalam Keluaran
dan Imamat, kata “riba” selalu berkaitan dengan pelarangan pinjaman kepada
orang miskin dan melarat. Sementara dalam Ulangan, larangan ini diperluas untuk
mencakup semua peminjaman uang. Selain itu, dalam kitab Talmud, dilarang
mengambil bunga dalam beberapa jenis kontrak penjualan, sewa dan kerja.
Larangan mendapatkan bunga tinggi tersebut tidak dianggap sebagai kejahatan
dengan sanksi pidana mati melainkan hanya sebagai pelanggaran moral.
Aristoteles (384–322 SM) menyatakan bahwa fungsi uang adalah
sebagai alat tukar atau medium of exchange. Uang bukan alat untuk menghasilkan
tambahan melalui bunga. Ia juga menyebut bunga sebagai uang yang berasal dari
uang yang keberadaannya dari sesuatu yang belum tentu pasti terjadi.
Aristoteles pernah berkata “pecunia pecuniam non parit”, (uang tidak bisa
melahirkan uang).
Pada masa pemerintahan Genucia (342 SM) kegiatan pengambilan
bunga tidak diperbolehkan. Tetapi, pada masa Unciaria (88 SM) praktik tersebut diperbolehkan
kembali seperti semula.
Pada masa Romawi, sekitar abad V SM hingga IV M terdapat
undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga
tersebut sesuai dengan ‘tingkat maksimal yang dibenarkan hukum’ (maximum legal
rate). Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu.
Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga, tetapi pengambilannya
tidak dibenarkan dengan cara bunga-berbunga (double countable).
Riba dalam Agama Kristen
Dalam perjanjian baru Injil Lukas ayat 34:l“Jika kamu
menghutangi kepada orang yang kamu harapkan imbalannya, maka di mana sebenarnya
kehormatanmu, tetapi berbuatlah kebaikan dan berikanlah pinjaman dengan tidak
mengharapkan kembalinya, karena pahala kamu akan sangat banyak.
Larangan praktek bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam
bentuk undang-undang (Canon):
Council of Elvira (Spanyol tahun 306) mengeluarkan Canon 20
yang melarang para pekerja gereja mem-praktekkan pengambilan bunga. Barangsiapa
yang melanggar, maka pangkatnya akan diturunkan.
Council of Arles (tahun 314) mengeluarkan Canon 44 yang juga
melarang para pekerja gereja mempraktekkan pengambilan bunga.
First Council of Nicaea (tahun 325) mengeluarkan Canon 17
yang mengancam akan memecat para pekerja gereja yang mempraktekkan bunga.
Gereja Katolik Roma sejak abad ke-4 melarang pengambilan
bunga oleh para kleru. Larangan ini diperluas bagi kaum awam pada abad ke-5.
Pada abad ke-8, Gereja Katolik menyatakan riba menjadi tindak pidana umum.
Gerakan anti-riba terus mendapatkan tempat selama awal Abad Pertengahan.
Puncaknya, pada tahun 1311, Paus Clement V membuat larangan riba dan menyatakan
bahwa semua undang-undang yang mendukung, batal demi hukum.
Pada tahun 1891, Paus Leo XIII dalam “Rerum Novarum“, riba
dikatakan sebagai kerakusan. Walau sering dikutuk Gereja, praktek ini masih
sering terjadi. Bahkan pada tahun 1989, Paus Yohanes Paulus II dalam
Sollicitude Rei Socialis secara eksplisit menuduh praktek riba sebagai penyebab
krisis dunia ketiga.
Pada akhir abad 13 muncul aliran-aliran baru yang
berusaha menghilangkan pengaruh gereja yang mereka anggap kolot, sehingga
peminjaman dengan bunga berkembang luas dan pengharaman bunga dari pihak gereja
pun makin kabur. Sejak itu praktek bunga merajalela dan dianggap sah di Eropa.
Pada masa ini (abad XII-XVI) terjadi perkembangan di bidang
perekonomian dan perdagangan. Uang dan kredit menjadi unsur yang penting dalam
masyarakat. Pinjaman untuk memberi modal kerja kepada para pedagang mulai
digulirkan pada awal Abad XII. Pasar uang perlahan-lahan mulai terbentuk.
Proses tersebut mendorong terwujudnya suku bunga pasar secara meluas.
0 Response to "Riba dalam berbagai Agama"
Post a Comment