Di dalam kehidupan
sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari yang namanya hutang
piutang. Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan ada pula yang
dibutuhkan. Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan, ada yang
dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit
rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga mendorongnya
dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari pinjaman dari orang-orang yang
dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman.
Dalam ajaran Islam,
utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk ekstra
hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan seseorang ke
dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka.
PENGERTIAN
HUTANG PIUTANG:
Di dalam fiqih
Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh.
Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u
yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut
Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan
hutang. (Lihat Fiqh Muamalat (2/11), karya Wahbah Zuhaili)
Sedangkan secara terminologis
(istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta
(uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya
dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya.
(Lihat Muntaha Al-Iradat (I/197). Dikutip dari Mauqif Asy-Syari’ah
Min Al-Masharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashirah, karya DR. Abdullah Abdurrahim
Al-Abbadi, hal.29).
Atau dengan kata
lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi
pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian
dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta
rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu
juta juga.
HUKUM
HUTANG PIUTANG:
Hukum Hutang piutang
pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan
hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang
disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun
dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya hutang piutang ialah sebagaimana
berikut ini:
Dalil dari Al-Qur’an
adalah firman Allah I: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah,
pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan
meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan
Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”
(QS. Al-Baqarah: 245)
Sedangkan dalil dari
Al-Hadits adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi r pernah
meminjam seekor unta kepada seorang lelaki. Aku datang menemui beliau membawa
seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta
milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai
Rasulullah! Yang kudapatkan hanya-lah sesekor unta ruba’i terbaik?” Beliau
bersabda, “Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik
adalah yang paling baik dalam mengembalikan hutang.”(HR.
Bukhari dalam Kitab Al-Istiqradh, baba istiqradh Al-Ibil (no.2390),
dan Muslim dalam kitab Al-musaqah, bab Man Istaslafa Syai-an Fa Qadha
Khairan Minhu (no.1600)
Nabi r juga bersabda:
“Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia
itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (Hadits ini di-hasan-kan
oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar As-sabil
(no.1389)).
Sementara dari Ijma’,
para ulama kaum muslimin telah berijma‘ tentang disyariatkannya hutang
piutang (peminjaman).
Adapun hokum
berhutang atau meminta pinjaman adalah diperbolehkan, dan bukanlah sesuatu yang
dicela atau dibenci, karena Nabi r pernah berhutang. (HR. Bukhari IV/608
(no.2305), dan Muslim VI/38 (no.4086)).
Namun meskipun
berhutang atau meminta pinjaman itu diperbolehkan dalam syariat Islam, hanya
saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari hutang semaksimal mungkin jika ia
mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena
hutang, menurut Rasulullah r, merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan
kehinaan di siang hari. Hutang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana
sabda Rasulullah r: “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering
berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).
Rasulullah r pernah
menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan hutang
dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah r bersabda: “Akan
diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali hutangnya.” (HR.
Muslim).
Bagaimana Islam
mengatur berhutang-piutang yang membawa pelakunya ke surga dan menghindarkan
dari api neraka? Perhatikanlah adab-adabnya di bawah ini:
BEBERAPA
ADAB ISLAMI DALAM HUTANG PIUTANG:
[1]. Hutang
piutang harus ditulis dan dipersaksikan.
Dalilnya firman
Allah I: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya,
maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan
(apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu
orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka
seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika
mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada
dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)
Berkaitan dengan
ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “ini merupakan petunjuk
dariNya untuk hambaNya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi
non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan
lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
mengingatkan salah satu ayat : “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat
persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan”. (Lihat Tafsir Al-Quran
Al-Azhim, III/316).
[2]. Pemberi
hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang
yang berhutang.
Kaidah fikih
berbunyi : “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”.
Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan.
Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun
adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama.
Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh
orang yang memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan dari pemberi
pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan mencari
kompensasi atau keuntungan. (Lihat Al-Fatawa Al-Kubra III/146,147)
Dengan dasar itu,
berarti pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun rentenir di
masa sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya. sehingga bisa terkena ancaman keras baik di dunia maupun di akhirat
dari Allah ta’ala.
Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan “saya beri anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan. (Lihat Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, II/51).
Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan “saya beri anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan. (Lihat Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, II/51).
[3].
Kebaikan sepantasnya dibalas dengan kebaikan
Dari Abu Hurairah t, ia berkata: “Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata : “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah I membalas dengan setimpal”. Maka Nabi r bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”.( HR. Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305)
Dari Abu Hurairah t, ia berkata: “Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata : “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah I membalas dengan setimpal”. Maka Nabi r bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”.( HR. Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305)
Dari Jabir bin
Abdullah t ia berkata: “Aku mendatangi Nabi r di masjid, sedangkan beliau
mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya”. (HR.
Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2394)
[4].
Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti:
a). Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b). Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c). Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti:
a). Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b). Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c). Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.
d). Berhutang dengan
niat tidak akan melunasinya.
Dari Abu Hurairah t,
ia berkata bahwa Nabi r bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang
lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah
I akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya
(tidak melunasinya, pent), maka Allah I akan membinasakannya”.
(HR. Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387)
Hadits ini hendaknya
ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang, karena kenyataan sering
membenarkan sabda Nabi diatas. Berapa banyak orang yang berhutang dengan niat
dan tekad untuk menunaikannya, sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk
melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang bertekad pada dirinya, bahwa hutang
yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka
Allah I membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut. Allah I melelahkan
badannya dalam mencari, tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya
karena memikirkan hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana,
bagaimana dengan akhirat yang kekal nan abadi?
[5]. Tidak
boleh melakukan jual beli yang disertai dengan hutang atau peminjaman
Mayoritas ulama menganggap perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan syarat dalam pinjaman agar pihak yang berhutang menjual sesuatu miliknya, membeli, menyewakan atau menyewa dari orang yang menghutanginya. Dasarnya adalah sabda Nabi: “Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu Daud no.3504, At-Tirmidzi no.1234, An-Nasa’I VII/288. Dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”).
Yakni agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil bunga yang diharamkan.
Mayoritas ulama menganggap perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan syarat dalam pinjaman agar pihak yang berhutang menjual sesuatu miliknya, membeli, menyewakan atau menyewa dari orang yang menghutanginya. Dasarnya adalah sabda Nabi: “Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu Daud no.3504, At-Tirmidzi no.1234, An-Nasa’I VII/288. Dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”).
Yakni agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil bunga yang diharamkan.
[6]. Jika
terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang
memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman.
Karena hal ini
termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
[7].
Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman
merupakan amanah yang harus dia kembalikan.
Rasulullah r bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya”. (HR. Abu Dawud dalam Kitab Al-Buyu’, Tirmidzi dalam kitab Al-buyu’, dan selainnya).
Rasulullah r bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya”. (HR. Abu Dawud dalam Kitab Al-Buyu’, Tirmidzi dalam kitab Al-buyu’, dan selainnya).
[8].
Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya
atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya.
Dari Jabir bin Abdullah t, ia berkata: (Ayahku) Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi r meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau r berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku.” (Maka) akupun melakukannya. Beliau r pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. (HR. Bukhari kitab Al-Istiqradh, no. 2405).
Dari Jabir bin Abdullah t, ia berkata: (Ayahku) Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi r meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau r berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku.” (Maka) akupun melakukannya. Beliau r pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. (HR. Bukhari kitab Al-Istiqradh, no. 2405).
[9].
Bersegera melunasi hutang
Orang yang berhutang
hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin tatkala ia telah
memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab orang yang
menunda-menunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong
orang yang berbuat zhalim. Sebagaimana sabda Nabi r: “Menunda (pembayaran)
bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman”. (HR. Bukhari no. 2400,
akan tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab Al-Aqdhiah,
no. 3628 dan Ibnu Majah, bab Al-Habs fiddin wal Mulazamah, no. 2427).
Diriwayatkan dari
Abu Hurairah t, ia berkata, telah bersabda Rasulullah r: “Sekalipun aku
memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku tidak akan senang jika tersisa lebih
dari tiga hari, kecuali yang aku sisihkan untuk pembayaran hutang”. (HR
Bukhari no. 2390)
[10].
Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi
hutangnya setelah jatuh tempo.
Allah I berfirman: “Dan
jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai
dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih
baik bagimu, jika kamu Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).
Diriwayatkan dari
Abul Yusr, seorang sahabat Nabi, ia berkata, Rasulullah r bersabda: “Barangsiapa
yang ingin dinaungi Allah dengan naungan-Nya (pada hari kiamat, pent), maka
hendaklah ia menangguhkan waktu pelunasan hutang bagi orang yang sedang
kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan hutangnya.” (Shahih Ibnu Majah
no. 1963)
Demikian penjelasan
singkat tentang beberapa adab Islami dalam hutang piutang. Semoga menjadi
tambahan ilmu yang bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Dan semoga Allah
menganugerahkan kepada kita semua rezki yang lapang, halal dan berkah, serta
terbebas dari lilitan hutang. Amin.
0 Response to "HUTANG PIUTANG DALAM ISLAM"
Post a Comment