BAB II
PEMBAHASAN
A. PERBEDAAN EKONOMI ISLAMI DENGAN
EKONOMI KONTEMPORER
1.
Pengertian dan Prinsip Dasar Ekonomi Syariah
Para pakar
ekonomi Islam memberikan definisi ekonomi Islam yang berbeda-beda, akan tetapi
semuanya bermuara pada pengertian yang relatif sama. Menurut M. Abdul Mannan,
ekonomi Islam adalah “sosial science which studies the economics
problems of people imbued with the values of Islam”.
Dari berbagai definisi tersebut,
dapatlah disimpulkan bahwa ekonomi Islam adalah suatu ilmu pengetahuan yang
berupaya untuk memandang, meninjau, meneliti, dan akhirnya menyelesaikan
permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang Islami (berdasarkan
ajaran-ajaran agama Islam). Sedangkan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam
menurut Umer Chapra adalah sebagai berikut:
1.
Prinsip Tauhid. Tauhid adalah fondasi keimanan Islam. Ini bermakna bahwa segala
apa yang di alam semesta ini didesain dan dicipta dengan sengaja oleh Allah
SWT, bukan kebetulan, dan semuanya pasti memiliki tujuan
2.
Prinsip khilafah. Manusia adalah khalifah Allah SWT di muka bumi. Ia dibekali
dengan perangkat baik jasmaniah maupun rohaniah untuk dapat berperan secara
efektif sebagai khalifah-Nya. Implikasi dari prinsip ini adalah: (1)
persaudaraan universal, (2) sumber daya adalah amanah, (3), gaya hidup
sederhana, (4) kebebasan manusia.
3.
Prinsip keadilan. Keadilan adalah salah satu misi utama ajaran Islam. Implikasi
dari prinsip ini adalah: (1) pemenuhan kebutuhan pokok manusia, (2)
sumber-sumber pendapatan yang halal dan tayyib, 3) distribusi pendapatan dan
kekayaan yang merata, (4) pertumbuhan dan stabilitas.
2.
Landasan Filosofi dan Welstanchaung
Banyak
sekali keterangan dari Al-Quran yang menyinggung masalah ekonomi, baik secara
eksplisit maupun implisit. Bagaimana jual beli yang baik dan sah menurut Islam,
pinjam meminjam dengan akad-akad yang sah sampai dengan pelarangan riba dalam
perekonomian. Walaupun pada kitab suci sebelumnya juga pernah disebutkan, dimana
perbuatan riba itu dibenci Tuhan. Sedangkan pada tatanan teknisnya diperjelas
dengan hadis serta teladan dari Rasulullah dan para alim ulama.
Tujuan
utama Syari‘at Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahahan umat manusia, baik di
dunia maupun di akhirat. Ini sesuai dengan misi Islam secara keseluruhan yang rahmatan
lil‘alamin. Al-Syatibi dalam al-Muwafaqat menegaskan:
ومعلوم ان الشريعة انما وضعت لمصالح
الخلق باطلاق
Artinya: “Telah
diketahui bahwa syariat Islam itu disyariatkan/diundangkan untuk mewujudkan
kemaslahahan makhluk secara mutlak”. Dalam ungkapan yang lain Yusuf al-Qaradawi
menyatakan:
اينما كانت المصلحة فثم حكم الله
Dua
ungkapan tersebut menggambarkan secara jelas bagaimana eratnya hubungkait
antara Syariat Islam dengan kemaslahahan. Ekonomi Islam yang merupakan salah
satu bagian dari Syariat Islam, tujuannya tentu tidak lepas dari tujuan utama
Syariat Islam. Tujuan utama ekonomi Islam adalah merealisasikan tujuan manusia
untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (falah), serta kehidupan
yang baik dan terhormat (al-hayah al-tayyibah). Ini merupakan definisi kesejahteraan
dalam pandangan Islam, yang tentu saja berbeda secara mendasar dengan
pengertian kesejahteraan dalam ekonomi konvensional yang sekuler dan materialistik.
Dengan demikian tujuan sistem ekonomi Islam adalah berkait dengan tujuan yang
tidak hanya memenuhi kesejahteraan hidup di dunia saja (materialis) namun juga
kesejahteraan hidup yang lebih hakiki (akhirat). Allah SWT sebagai puncak
tujuan, dengan mengedepankan pencarian keridloan-Nya dalam segala pola perilaku
sejak dari konsumsi, produksi hingga distribusi.
Secara
terperinci, tujuan ekonomi Islam dapat dijelaskan sebagai berikut: (1)
Kesejahteraan ekonomi adalah tujuan ekonomi yang terpenting. Kesejahteraan ini
mencakup kesejahteraan individu, masyarakat dan negara. (2) Tercukupinya
kebutuhan dasar manusia, meliputi makan, minum, pakaian, tempat tinggal,
kesehatan, pendidikan, keamanan serta sistem negara yang menjamin terlaksananya
kecukupan kebutuhan dasar secara adil. (3) Penggunaan sumber daya secara
optimal, efisien, efektif, hemat dan tidak membazir. (4) Distribusi harta,
kekayaan, pendapatan dan hasil pembangunan secara adil dan merata. (5) Menjamin
kebebasan individu. (6) Kesamaman hak dan peluang. (7) Kerjasama dan keadilan.[24]
Manusia perlu bertindak rasional
karena ia mempunyai beberapa kelebihan dibanding ciptaan Allah yang lainnya.
Manusia dianggap bertindak rasional apabila .individu tersebut mengarahkan
perilakunya untuk mencapai tahapan maksimum sesuai dengan norma-norma Islam.[30]
Individu rasional adalah individu yang berusaha memaksimumkan al-falah dibanding
memaksimumkan kepentingan diri sendiri.
Konsep asas rasionalisme Islam
menurut Monzer Kahf[31]:
1.
Konsep kesuksesan
Islam membenarkan individu untuk
mencapai kesuksesan di dalam hidupnya melalui tindakan-tindakan ekonomi, namun
kesuksesan dalam Islam bukan hanya kesuksesan materi akan tetapi juga
kesuksesan di hari akhirat dengan mendapatkan keridhaan dari Allah SWT.
Kesuksesan dalam kehidupan muslim diukur dengan moral agama Islam, bukan dengan
jumlah kekayaan yang dimiliki.
2.
Jangka waktu perilaku konsumen
Dalam pandangan Islam kehidupan
dunia hanya sementara dan masih ada kehidupan kekal di akhirat. Maka dalam
mencapai kepuasan perlu ada keseimbangan pada kedua tempoh waktu tersebut, demi
mencapai kesuksesan yang hakiki.
3.
Konsep kekayaan
Kekayaan dalam konsep Islam adalah
amanah dari Allah SWT dan sebagai alat bagi individu untuk mencapai kesuksesan
di hari akhirat nanti, sedangkan menurut pandangan konvensional kekayaan adalah
hak individu dan merupakan pengukur tahap pencapaian mereka di dunia.
4.
Konsep barang
Konsep barang dalam pandangan Islam
selalu berkaitan dengan nilai-nilai moral. Dalam al-Quran dinyatakan dua bentuk
barang yaitu: al-tayyibat (barangan yang baik, bersih, dan suci serta
berfaedah) dan barangan al-rizq (pemberian Allah, hadiah, atau anugerah
dari langit) yang bisa mengandung halal dan haram.
5.
Etika konsumen
Islam tidak melarang individu dalam
menggunakan barang untuk mencapai kepuasan selama individu tersebut tidak
mengkonsumsi barang yang haram dan berbahaya atau merusak. Islam melarang
mengkonsumsi barang untuk israf (pembaziran) dan tabzir (spending
in the wrong way) seperti suap, berjudi dan lainnya.
Rasionaliti
dalam ekonomi Islam, senantiasa memperhatikan maslahah untuk diri,
keluarga dan masyarakat, utiliti bukanlah suatu prioritas, walau tidak dibuang.
Implikasi pengaplikasian konsep need ini dalam mewujudkan maslahah adalah
sebagai berikut:
1.
Menghindarkan diri dari sikap israf (berlebih-lebihan melampaui batas).
Seorang
konsumen muslim akan selalu mempertimbangkan maslahah bagi diri dan
masyarakatnya dalam mengkonsumsi suatu barang atau jasa dan menghindari sikap israf.
2. Mengutamakan akhirat daripada dunia.
Pada
asasnya seorang muslim akan dihadapkan pada dua pilihan yaitu di antara
mengkonsumsi barang ekonomi yang bersifat duniawi saja dan yang bersifat ibadah
(ukhrawi). Pengunaan barang atau jasa untuk keperluan ibadah bernilai
lebih tinggi dari konsumsi untuk duniawi.
Konsumsi
untuk ibadah lebih tinggi nilainya karena orientasinya adalah al-falah yang
akan mendapatkan pahala dari Allah SWT, sehingga lebih bertujuan untuk
kehidupan akhirat kelak
3.
Konsisten dalam prioritas pemenuhan keperluan (daruriyyah, hajiyyah, dan
tahsiniyyah)
Keperluan
manusia dalam konsumsi memiliki tingkat kepentingan yang tidak selalu sama.
Terdapat prioritas-prioritas di antara satu dengan lainnya yang menunjukkan
tingkat kemanfaatan dan kemendesakan dalam pemenuhannya.
4.
Memperhatikan etika dan norma[43]
Syariah Islam memiliki seperangkat
etika dan norma yang mesti dipedomani dalam semua aktivitas kehidupan. Beberapa
etika misalnya kesederhanaan, keadilan, kebersihan, halalan toyyiba,
keseimbangan, dan lain-lain. Ringkasnya, seorang muslim dalam beraktivitas,
khususnya dalam mengkonsumsi barang atau jasa mestilah berpedoman pada etika
dan norma yang telah ditetapkan oleh syariat Islam.
Menurut Anas Zarqa’,[44]
perilaku muslim yang rasional dalam mengaplikaiskan konsep need akan mendorong
individu untuk berada pada suatu tingkat yang berada di antara pembaziran dan
kecukupan. Rasional dalam mengkonsumsi menurut modelnya adalah:
1.
Konsumen yang rasional tidak akan berpuas hati sebelum sampai ke tahap barang
kecukupan yang mampu diusahakan, karena akan dihukum bersalah dan dianggap
menimbulkan penganiayaan terhadap diri dan keluarga.
2.
Tidak melebihi garis pembaziran, karena dilarang Islam
3.
Konsumen tidak menggunakan barang terlarang, karena berkibat buruk di akhirat.
4.
Bersedia share sebagian dari konsumsinya dengan orang lain atas sikap
mematuhi prinsip Islam seperti zakat, sadaqah, infaq.
B.
Ekonomi Islam Kontemporer
Pemikiran ekonomi Islam kontemporer
ini merupakan buah pikiran dari para ekonom Muslim pada abad ke-20 Masehi. Jika
dalam pemikiran ekonomi Islam klasik dibagi menjadi 3 fase, maka pemikiran
ekonomi Islam kontemporer ini dibagi menjadi 3 aliran, yaitu aliran Iqtishādunā,
aliran Mainstream, dan aliran Alternatif. Masing-masing dari ketiga
aliran ini memiliki corak pemikiran yang berbeda-beda.
1. Aliran Iqtishādunā
Corak utama dari aliran ini adalah
pemikirannya tentang masalah ekonomi yang muncul karena adanya distribusi yang
tidak merata dan tidak adil sebagai akibat dari sistem ekonomi yang membolehkan
eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Yang kuat memiliki akses
terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat kaya.
Sementara yang lemah tidak memiliki
akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat miskin. Karena itu, masalah
ekonomi muncul bukan karena sumber daya yang tidak terbatas, tetapi karena
keserakahan manusia yang tidak terbatas.
Aliran ini menolak pernyataan yang
menyatakan bahwa masalah ekonomi disebabkan oleh adanya keinginan manusia yang
tak terbatas sementara sumber daya alam yang tersedia jumlahnya terbatas.
Karena hal tersebut bertentangan dengan firman Allah: “Sesungguhnya Kami
menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Q.S. al-Qamar: 49).
Aliran ini dipelopori oleh Baqir
Sadr. Nama aliran ini pun diambil dari nama karyanya Iqtishādunā.
Menurutnya, ekonomi Islam adalah cara atau jalan yang dipilih oleh Islam untuk
dijalani dalam rangka mencapai kehidupan ekonominya dan dalam memecahkan masalah
ekonomi praktis sejalan dengan konsepnya tentang keadilan. Baginya, Islam tidak
mengurusi hukum permintaan dan penawaran … (tidak pula) hubungan antara laba
dan bunga bank … (tidak pula) fenomena diminishing returns di dalam
produksi, yang baginya merupakan ”ilmu ekonomi”. Jadi menurutnya, ekonomi Islam
adalah doktrin karena ia membicarakan semua aturan dasar dalam kehidupan
ekonomi dihubungkan dengan ideologinya mengenai keadilan sosial. Sebagai
doktrin, sistem ekonomi Islam juga berhubungan dengan pertanyaan ”apa yang
seharusnya” berdasarkan kepercayaan, hukum, konsep dan definisi yang diambil
dari Al-Qur’an dan Hadits. Di dalam doktrin ekonomi Sadr, keadilan menempati
posisi sentral, sehingga menjadi tolak ukur untuk menilai teori, kegiatan dan output
ekonomi.
2. Aliran Mainstream
Corak utama dari pemikiran aliran
ini adalah kebalikan dari aliran Iqtishādunā dalam memandang masalah
ekonomi. Menurut aliran ini, masalah ekonomi timbul memang dikarenakan
kelangkaan (scarcity) Sumber Daya Alam sementara keinginan manusia tidak
terbatas. Untuk itu, manusia diarahkan untuk melakukan prioritas dalam memenuhi
segala kebutuhannya. Dan keputusan dalam menentukan skala prioritas tersebut
tidak dapat dilakukan semaunya sendiri karena dalam Islam sudah ada rujukannya
sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Aliran ini ditokohi oleh 4 tokoh
utama, yaitu Muhammad Abdul Mannan, Muhammad Nejatullah Siddiqi, Syed Nawab
Haidar Naqvi, dan Monzer Kahf.
a. Muhammad Abdul Mannan.
Pemikiran ekonominya dituangkan
dalam karya-karyanya; Islamic Economics: Theory and Practice (1970) dan The
Making of Islamic Economic Society (1984). Ia mendefinisikan ekonomi Islam
sebagai “ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi
rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.”
Ketika ekonomi Islam dihadapkan pada
masalah ”kelangkaan”, maka bagi Mannan, sama saja artinya dengan kelangkaan
dalam ekonomi Barat. Bedanya adalah pilihan individu terhadap alternatif
penggunaan sumber daya, yang dipengaruhi oleh keyakinan terhadap nilai-nilai
Islam. Oleh karena itu, menurut Mannan, yang membedakan sistem ekonomi Islam
dari sistem sosio-ekonomi lain adalah sifat motivasional yang mempengaruhi
pola, struktur, arah dan komposisi produksi, distribusi dan konsumsi. Dengan
demikian, tugas utama ekonomi Islam adalah menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi asal-usul permintaan dan penawaran sehingga dimungkinkan untuk
mengubah keduanya ke arah distribusi yang lebih adil.
b. Muhammad Nejatullah Siddiqi.
Pemikiran ekonominya dituangkan dalam
karya-karyanya; The Economic Enterprise in Islam (1971) dan Some
Aspects of The Islamic Economy (1978). Ia mendefinisikan ekonomi Islam
sebagai “respon para pemikir muslim terhadap tantangan ekonomi yang dihadapi
pada zaman mereka masing-masing. Dalam usaha ini, mereka dibantu oleh Qur’an
dan Sunnah, baik sebagai dalil dan petunjuk maupun sebagai eksprimen.”
Siddiqi menolak determinisme ekonomi Marx. Baginya, ekonomi Islam itu modern,
memanfaatkan teknik produksi terbaik dan metode organisasi yang ada. Sifat
Islamnya terletak pada basis hubungan antarmanusia, di samping pada sikap dan
kebijakan-kebijakan sosial yang membentuk sistem tersebut.
Ciri utama yang membedakan perekonomian Islam
dan sistem-sistem ekonomi modern yang lain, menurutnya, adalah bahwa di dalam
suatu kerangka Islam, kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi merupakan sarana
untuk mencapai tujuan spritual dan moral. Oleh karena itu, ia mengusulkan
modifikasi teori ekonomi Neo-Klasik konvensional dan peralatannya untuk
mewujudkan perubahan dalam orientasi nilai, penataan kelembagaan dan tujuan
yang dicapai.
c. Syed Nawab Haidar Naqvi.
Pemikiran ekonominya dituangkan
dalam karyanya; Ethics and Economics: An Islamic Synthesis (1981). Ia
mendefinisikan ekonomi Islam sebagai “perilaku muslim sebagai perwakilan
dari ciri khas masyarakat muslim.” Ada 3 tema besar yang mendominasi
pemikiran Naqvi dalam ekonomi Islam. Pertama, kegiatan ekonomi dilihat
sebagai suatu subjek dari upaya manusia yang lebih luas untuk mewujudkan
masyarakat yang adil berdasarkan pada prinsip etika ilahiyyah, yakni keadilan (Al-’Adl)
dan kebajikan (Al-Ihsān). Menurutnya, hal itu berarti bahwa etika harus
secara eksplisit mendominasi ekonomi dalam ekonomi Islam, dan faktor etika
inilah yang membedakan sistem ekonomi Islam dari sistem ekonomi lainnya.
Kedua, melalui prinsip Al-’Adl wa Al-
Ihsān, ekonomi Islam memerlukan suatu bias yang melekat dalam
kebijakan-kebijakan yang memihak kaum miskin dan lemah secara ekonomis. Bias
tersebut mencerminkan penekanan Islam terhadap keadilan, yang ia terjemahkan
sebagai egalitarianisme. Ini adalah suatu butir penting yang sering kali ia
tekankan dalam tulisannya. Dan ketiga adalah diperlukannya suatu peran
utama negara dalam kegiatan ekonomi. Negara tidak hanya berperan sebagai
regulator kekuatan-kekuatan pasar dan penyedia (supplier) kebutuhan
dasar, tetapi juga sebagai partisipan aktif dalam produksi dan distribusi, baik
di pasar barang maupun faktor produksi, demikian pula negara berperan sebagai
pengontrol sistem perbankan. Ia melihat negara Islam sebagai perwujudan atau
penjelmaan amanah Allah tatkala ia meletakkan negara sebagai penyedia, penopang
dan pendorong kegiatan ekonomi.
d. Monzer Kahf.
Pemikiran ekonominya dituangkan
dalam karyanya; The Islamic Economy: Analytical of The Functioning of The
Islamic Economic System (1978). Ia tidak mengusulkan suatu definisi
”formal” bagi ekonomi Islam, tetapi karena ilmu ekonomi berhubungan dengan
perilaku manusia dalam hal produksi, distribusi dan konsumsi, maka ekonomi
Islam, menurutnya, dapat dilihat sebagai sebuah cabang dari ilmu ekonomi yang
dipelajari dengan berdasarkan paradigma (yakni aksioma, sistem nilai dan etika)
Islam, sama dengan studi ekonomi Kapitalisme dan ekonomi Sosialisme. Dengan
pandangannya ini, ia mencela kelompok-kelompok ekonom Islam tertentu. Ia
menengarai suatu kelompok yang mencoba untuk menekankan dengan terlalu keras
perbedaan antara ekonomi Islam dan Barat. Kelompok itu tidak memahami bahwa
perbedaan antara keduanya sebenarnya terletak pada filosofi dan prinsipnya,
bukan pada metode yang digunakan. Di pihak lain, terdapat juga kelompok lain
yang secara implisit menerima asumsi-asumsi ekonomi Barat yang sarat nilai.
Kelompok lain yang ia tegur adalah mereka yang mecoba menyamakan antara ekonomi
Islam dan Fiqih Mu’amalat. Kelompok ini, menurutnya, telah menyempitkan ekonomi
Islam sehingga hanya berisi sekumpulan perintah dan larangan saja, padalah
seharusnya mereka membicarakan hal-hal seperti teori konsumsi atau teori
produksi. Semua kelompok tersebut tidak memahami posisi ekonomi Islam dalam
kerangka atau kategorisasi cabang ilmu pengetahuan serta tidak pula bisa
memisah-misahkan berbagai seginya seperti filosofinya, prinsip atau aksiomanya,
serta fungsi aktualnya.
3. Aliran Alternatif
Aliran ini dikenal sebagai aliran
yang kritis secara ilmiah terhadap ekonomi Islam, baik sebagai ilmu maupun
sebagai peradaban.
Aliran ini mengkritik kedua aliran
sebelumnya. Aliran Iqtishādunā dikritik karena dianggap berusaha
menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya sudah ditemukan tokoh-tokoh
sebelumnya, sedangkan aliran Mainstream dikritik sebagai jiplakan ekonomi
aliran Neo-Klasik dan Keynesian dengan menghilangkan unsur riba serta
memasukkan variabel zakat dan akad, sehingga tidak ada yang orisinil dari
aliran ini. Namun aliran ini tidak hanya mengkritik ekonomi Islam saja, ekonomi
konvensional pun juga telah dikritik.
Tokoh-tokoh aliran ini adalah Timur
Kuran, Sohrab Behdad, dan Abdullah Saeed.
a. Timur Kuran.
Ia adalah seorang dosen ekonomi di
Southern California University, USA. Pemikirannya bisa ditemukan dalam tulisan
artikel-artikelnya, yaitu; “The Economyc System in Contemporary Islamic
Thought: Interpretation and Assessment”, dalam International Journal of
Middle East Studies Volume 18 tahun 1986, dan “On The Notion of Economic
Justice in Contemporary Islamic Thought”, dalam International Journal of
Middle East Studies Volume 21 tahun 1989.
b. Sohrab Behdad.
Pemikirannya dapat ditemukan dalam
tulisan artikelnya yang berjudul “Property Rights in Contemporary Islamic
Economic Thought: A Critical Perspective” dalam jurnal Review of Social
Economy Volume 47 tahun 1989.
c. Abdullah Saeed.
Ia adalah seorang Profesor Studi
Arab-Islam di University of Melbourne, Australia. Pemikirannya bisa ditemukan
dalam tulisan artikel-artikelnya, yaitu; “Islamic Banking in Practice: A
Critical Look at The Murabaha Financing Mechanism” dalam Journal of
Arabic, Islamic & Middle Eastern Studies tahun 1993, dan “The Moral
Context of The Prohibition of Riba in Islam Revisited” dalam American
Journal of Islamic Social Science tahun 1995.
8
BAB III
PENUTUP
Mursyid Al-Idrisiyyah mendefinisikan
ekonomi islam dengan menggunakan kalimat-kalimat sederhana, yaitu seluruh
bentuk kegiatan ekonomi yang berdasarkan prinsip-prinsip Islam yang bersumber
kepada Al Quran dan As Sunah yang diijtihadi oleh mursyid. Kedudukan
mursyid memiliki perananan yang cukup urgen termasuk dalam memberikan curah
pemikiran mengenai konteks ekonomi islam, sesuai dengan tuntutan dan
perkembangan zaman juga mampu mensosialisasikan dan memobilisasi umat untuk
berekonomi Islami dengan uswah (teladan) dan kharismanya.
Pemikiran ekonomi Islam kontemporer
ini merupakan buah pikiran dari para ekonom Muslim pada abad ke-20 Masehi. Jika
dalam pemikiran ekonomi Islam klasik dibagi menjadi 3 fase, maka pemikiran
ekonomi Islam kontemporer ini dibagi menjadi 3 aliran, yaitu aliran Iqtishādunā,
aliran Mainstream, dan aliran Alternatif. Masing-masing dari ketiga
aliran ini memiliki corak pemikiran yang berbeda-beda.
9
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh
Segala puji bagi Allah yang telah
menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa
pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik.
Makalah ini di susun oleh penyusun
dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang
datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari
Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini memuat tentang Perbedaan
Ekonomi Islam dengan Ekonomi Kontemporer yang sengaja penulis pilih karena
menarik perhatian penulis untuk dicermati dan perlu mendapat dukungan dari
semua pihak.
Penyusun juga mengucapkan terima
kasih kepada guru / dosen pembimbing yang telah banyak membantu penyusun agar
dapat menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan
wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan
dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.
wssalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………
i
DAFTAR ISI ……………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………… 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ekonomi Islam ……………………………………… 2
B. Dasar Ekonomi Islam ……………………………………… 2
C. Ekonomi Islam Kontemporer ……………………………………… 3
BAB III PENUTUP
A. SIMPULAN
……………………………………… 8
B. SARAN ………………………………………. 8
DAFTAR
PUSTAKA ......................................................... 9
ii
BAB
I
PENDAHULUAN
M.A. Manan (1992:19) di dalam
bukunya yang berjudul “Teori dan Praktik Ekonomi Islam” menyatakan bahwa ekonoi
islam adalah ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah ekonomi rakyat
yang di ilhami oleh nilai-nilai islam. Sementara itu, H. Halide berpendapat
bahwa yang di maksud dengan ekonomi islam ialah kumpulan dasar-dasar umum
ekonomi yang dii simpulkan dari Al-Qur’an dan sunnah yang ada hubungannya
dengan urusan ekonomi (dalam Daud Ali, 1988:3).
Sistem ekonomi islam adalah
sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang di simpulkan dari Al-Qur’an dan
sunnah, dan merupakan bangunan perekonomian yang di dirikan atas landasan
dasar-dasar tersebut yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan masa.
1
DAFTAR PUSTAKA
AbulHasan M. Sadeq, 1992, “Islamic
Economic Thought”, dalam AbulHasan M. Sadeq dan Aidit Ghazali (eds.), Readings
in Islamic Economic Thought, Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn. Bhd.
Ahmad, Khursid, 1992, dalam M. Umer
Chapra, What is Islamic Economics, (Jeddah: IRTI – IDB.
Al-Syatibi, t.t., al-Muwafaqat fi
Usul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, juz 2.
Chapra, M. Umer, 1995, Islam and
Economic Challenge, USA: IIIT dan The Islamic Foundation.
0 Response to "MAKALAH PERBEDAAN EKONOMI ISLAM DAN EKONOMI KONTEMPORER"
Post a Comment