Bisnis
dapat diartikan sebagai kegiatan memproduksi dan menjual barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Kegiatan bisnis terjadi karena keinginan untuk
saling memenuhi kebutuhan hidup masing-masing manusia, dan masing-masing pihak
tentunya memperoleh keuntungan dari proses tersebut. Tidak dapat disangkal
bahwa pada umumnya orang berpendapat bahwa bisnis adalah untuk mencari
keuntungan sebesar-besarnya. Untuk memaksimumkan keuntungan tersebut, maka
tidak dapat dihindari sikap dan perilaku yang menghalalkan segala cara yang
sering tidak dibenarkan oleh norma moral.
Kalau
memaksimalkan keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan, dengan
sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis. Karena jika keuntungan menjadi
satu-satunya tujuan, semuanya dikerahkan dan dimanfaatkan demi tercapainya
tujuan itu, termasuk juga karyawan yang bekerja dalam perusahaan. Akan tetapi,
memperalat karyawan karena alasan apa saja berarti tidak menghormati mereka
sebagai manusia. Dengan itu dilanggar suatu prinsip etis yang paling mendasar
kita selalu harus menghormati martabat manusia. Immanuel Kant, filsuf Jerman
abad ke-18, menurutnya prinsip etis yang paling mendasar dapat dirumuskan
sebagai berikut: “hendaklah memperlakukan manusia selalu juga sebagai tujuan pada
dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka”. Mereka tidak boleh
dimanfaatkan semata-mata untuk mencapai tujuan. Misalnya, mereka harus
dipekerjakan dalam kondisi kerja yang aman dan sehat dan harus diberikan gaji
yang pantas.
Sejarah mencatat Revolusi Industri
yang terjadi dari 1760 sampai 1830 dengan tujuan untuk memaksimalisasi
keuntungan, menyebabkan tenaga buruh dihisap begitu saja, sungguh diperalat.
Upah yang diberikan sangat rendah, hari kerja panjang sekali, tidak ada jaminan
kesehatan. Jika buruh jatuh sakit ia sering diberhentikan dan dalam keadaan
lain pun buruh bisa diberhentikan dengan semena-mena. Lebih parahnya, banyak
dipakai tenaga wanita dan anak dibawah umur, karena kepada mereka bisa
diberikan upah lebih rendah lagi dan mereka tidak mudah memberontak. Hal ini
menunjukkan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan usaha ekonomis bisa
membawa akibat kurang etis.
Di
satu pihak perlu diakui, bisnis tanpa tujuan profit bukan bisnis lagi. Di lain
pihak keuntungan tidak boleh dimutlakkan. Keuntungan dalam bisnis merupakan
suatu pengertian yang relatif. Ronald Duska (1997) dalam Bertens (2000),
mencoba untuk merumuskan relativitas tersebut dengan menegaskan bahwa kita
harus membedakan antara purpose (maksud) dan motive. Maksud bersifat
obyektif, sedangkan motivasi bersifat subyektif. Keuntungan tidak merupakan
maksud bisnis. Maksud bisnis adalah menyediakan produk atau jasa yang
bermanfaat untuk masyarakat. Keuntungan hanya sekadar motivasi untuk mengadakan
bisnis. Oleh karena itu, bisnis menjadi tidak etis, kalau perolehan untung
dimutlakkan dan segi moral dikesampingkan.
Keuntungan memungkinkan bisnis hidup terus, tetapi tidak
menjadi tujuan terakhir bisnis itu sendiri. Oleh karenanya tidak bisa
dikatakan lagi bahwa profit merupakan satu-satunya tujuan bagi bisnis. Beberapa
cara untuk melukiskan relativitas keuntungan dalam bisnis, dengan tidak mengabaikan perlunya (Bertens, 2000), adalah sebagai berikut:
·
keuntungan merupakan tolak ukur untuk menilai kesehatan perusahaan atau
efisiensi manajemen dalam perusahaan;
·
keuntungan adalah pertanda yang menunjukkan bahwa produk atau jasanya dihargai
oleh masyarakat;
·
keuntungan adalah cambuk untuk meningkatkan usaha;
·
keuntungan merupakan syarat kelangsungan perusahaan;
·
keuntungan mengimbangi resiko dalam usaha.
Dari konsep relativitas keuntungan diatas, mengisyaratkan
bahwa keuntungan bukan yang utama dalam bisnis. Persepsi manfaat dari
pencapaian keuntungan harus dirubah, karena bisnis bukan semata-mata untuk
memperoleh keuntungan materiil. Untuk itu prinsip-prinsip etika yang diterapkan
dalam kegiatan bisnis pada perusahaan-perusahaan bisnis, haruslah mengacu pada stakeholders
benefit. Stakeholders
adalah semua pihak yang berkepentingan dengan kegiatan suatu perusahaan. Pihak
berkepentingan internal adalah “orang dalam” dari suatu perusahaan: orang atau
instansi yang secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti
pemegang saham, manajer, dan karyawan. Pihak berkepentingan eksternal adalah
“orang luar” dari suatu perusahaan: orang atau instansi yang tidak secara
langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti para konsumen, masyarakat,
pemerintah, lingkungan hidup. Kita bisa mengatakan bahwa tujuan perusahaan
adalah manfaat semua stakeholders. Misalnya, tidak etis kalau dalam
suatu keputusan bisnis hanya kepentingan para pemegang saham dipertimbangkan.
Bukan saja kepentingan para pemegang saham harus dipertimbangkan tapi juga
kepentingan semua pihak lain, khususnya para karyawan dan masyarakat di sekitar
pabrik.
Beberapa
prinsip etis dalam bisnis telah dikemukakan oleh Robert C.Solomon (1993) dalam Bertens (2000), yang memfokuskan
pada keutamaan pelaku bisnis individual dan keutamaan pelaku bisnis pada taraf
perusahaan. Berikut dijelaskan keutamaan pelaku bisnis individual, yaitu:
a.
Kejujuran
Kejujuran secara umum diakui sebagai keutamaan pertama
dan paling penting yang harus dimiliki pelaku bisnis. Orang yang memiliki
keutamaan kejujuran tidak akan berbohong atau menipu dalam transaksi bisnis.
Pepatah kuno caveat emptor yaitu hendaklah pembeli berhati-hati. Pepatah
ini mengajak pembeli untuk bersikap kritis untuk menghindarkan diri dari pelaku
bisnis yang tidak jujur. Kejujuran memang menuntut adanya keterbukaan dan
kebenaran, namun dalam dunia bisnis terdapat aspek-aspek tertentu yang tetap
harus menjadi rahasia. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa setiap informasi yang
tidak benar belum tentu menyesatkan juga.
b.
Fairness
Fairness adalah kesediaan untuk memberikan apa yang wajar kepada semua orang dan
dengan ”wajar” yang dimaksudkan apa yang bisa disetujui oleh semua pihak yang
terlibat dalam suatu transaksi.
c.
Kepercayaan
Kepercayaan adalah keutamaan yang penting dalam konteks
bisnis. Kepercayaan harus ditempatkan dalam relasi timbal-balik. Pebisnis yang
memiliki keutamaan ini boleh mengandaikan bahwa mitranya memiliki keutamaan
yang sama. Pebisnis yang memiliki kepercayaan bersedia untuk menerima mitranya
sebagai orang yang bisa diandalkan. Catatan penting yang harus dipegang adalah
tidak semua orang dapat diberi kepercayaan dan dalam memberikan kepercayaan
kita harus bersikap kritis. Kadang kala juga kita harus selektif memilih mitra
bisnis. Dalam setiap perusahaan hendaknya terdapat sistem pengawasan yang
efektif bagi semua karyawan, tetapi bagaimanapun juga, bisnis tidak akan
berjalan tanpa ada kepercayaan.
d. Keuletan
Keutamaan keempat adalah keuletan, yang berarti pebisnis
harus bertahan dalam banyak situasi yang sulit. Ia harus sanggup mengadakan
negosiasi yang terkadang seru tentang proyek atau transaksi yang bernilai
besar. Ia juga harus berani mengambil risiko kecil ataupun besar, karena
perkembangan banyak faktor tidak diramalkan sebelumnya. Ada kalanya ia juga
tidak luput dari gejolak besar dalam usahanya. Keuletan dalam bisnis itu cukup dekat dengan keutamaan
keberanian moral.
Selanjutnya, empat keutamaan yang dimiliki orang bisnis pada taraf perusahaan, yaitu:
a.
Keramahan
Keramahan tidak merupakan taktik bergitu saja untuk
memikat para pelanggan, tapi menyangkut inti kehidupan bisnis itu sendiri,
karena keramahan itu hakiki untuk setiap hubungan antar-manusia. Bagaimanapun
juga bisnis mempunyai segi melayani sesama manusia.
b.
Loyalitas
Loyalitas berarti bahwa karyawan tidak bekerja
semata-mata untuk mendapat gaji, tetapi juga mempunyai komitmen yang tulus
dengan perusahaan. Ia adalah bagian dari perusahaan yang memiliki rasa ikut
memiliki perusahaan tempat ia bekerja.
c. Kehormatan
Kehormatan adalah keutamaan yang membuat karyawan menjadi
peka terhadap suka dan duka serta sukses dan kegagalan perusahaan. Nasib
perusahaan dirasakan sebagai sebagian dari nasibnya sendiri. Ia merasa bangga
bila kinerjanya bagus.
d. Rasa Malu
Rasa malu membuat karyawan solider dengan kesalahan
perusahaan. Walaupun ia sendiri barang kali tidak salah, ia merasa malu karena
perusahaannya salah.
0 Response to "PRINSIP ETIKA DALAM BISNIS"
Post a Comment