MAKALAH PAJAK PPNBm










2.1 Pengertian Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) merupakan pajak yang dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tersebut di dalam Daerah Pabean Indonesia dalam usaha atau pekerjaannya dan impor barang yang tergolong mewah.
PPn BM merupakan jenis pajak yang merupakan satu paket dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Namun demikian, mekanisme pengenaan PPn BM ini sedikit berbeda dengan PPN.
Berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang PPN, Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan terhadap:
1.    Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya;
2. Impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah. Dengan demikian, PPnBM hanya dikenakan pada saat penyerahan BKP yang Tergolong Mewah oleh pabrikan (pengusaha yang menghasilkan) dan pada saat impor BKP yang Tergolong Mewah. PPnBM tidak dikenakan lagi pada rantai penjualan setelah itu. Adapun pihak yang memungut PPnBM tentu saja pabrikan BKP yang Tergolong Mewah pada saat melakukan penyerahan atau penjualan BKP yang Tergolong Mewah. Sementara itu, PPnBM atas impor BKP yang Tergolong Mewah dilunasi oleh importir.


2.2 Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
      Dasar Pengenaan Pajak adalah nilai berupa uang yang dijadikan sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Dasar Pengenaan Pajak. Dasar Pengenaan Pajak tersebut adalah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan tarif pajak.
     Untuk menghitung besarnya pajak PPnBM yang terutang perlu adanya Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Yang menjadi DPP menurut Mardiasmo (2011:285) adalah:
1.    Harga jual.
2.    Penggantian.
3.    Nilai impor.
4.    Nilai ekspor.
5.    Nilai lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut  menurut Undang-Undang PPN 1984 dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan JKP, ekspor JKP, atau ekspor BKP Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang PPN 1984 dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan JKP dan/atau oleh penerima manfaat BKP Tidak Berwujud karena pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengaur mengenai kepabean dan cukai untuk impor BKP, tidak termasuk PPN dan PPnBM yang dipungut menurut Undang-Undang PPN 1984.
Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh ekspotir.
Penerapan DPP diatur dalam berbagai peraturan pelaksanaan undang-undang menurut Mardiasmo (2011:286) sebagaimana berikut:
1.        Untuk penyerahan atau penjualan BKP, yang menjadi DPP adalah jumlah harga jual.
2.        Untuk penyerahan JKP, yang  menjadi DPP adalah penggantian.
3.        Untuk impor, yang menjadi DPP adalah nilai impor.
4.        Untuk ekspor, yang menjadi DPP adalah nilai ekspor.
5.     Atas kegiatan membangun sendiri bangunan permanen dengan luas 300 matau lebih, yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya, DPP-nya adalah 40% (empat puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk membangun (tidak termasuk harga perolehan tanah).
6.   Untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor.
7.      Untuk pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor.
8.        Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata.
9.        Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata perjudul film.
10.    Untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran.
11. Untuk BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, DPP-nya adalah harga pasar wajar.
12.   Untuk penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP antar cabang adalah harga pokok penjualan atau harga perolehan.
13.  Untuk penyerahan BKP melalui pedagang perantara adalah harga yang disepakati antara pedagang perantara dengan pembeli.
14.    Untuk penyerahan BKP melalui juru lelang adalah harga lelang.
15.  Untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih.
16.    Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang sebenarnya ditagih.
2.3 Tarif
1)   Tarif Pajak Pertambahan Nilai
Tarif PPN yang berlaku saat ini adalah 10% (sepuluh persen). Sedangkan Tarif PPN atas:


a.    Ekspor BKP Berwujud;
b.    Ekspor BKP Tidak Berwujud; dan
c.    Ekspor JKP.
Pengenaan tarif 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan BKP/JKP yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan.
  Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah diberi wewenang mengubah tarif Pajak Pertambahan Nilai menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal. Perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat ini dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka pembahasan dan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.


2)   Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)
Mardiasmo (2011:286) menyatakan tentang tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat ditetapkan dalam beberapa kelompok tarif, yaitu paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen). Ketentuan mengenai tarif kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan ketentuan mengenai jenis barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Atas ekspor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol persen). PPn BM yang telah dibayar atas perolehan BKP yang Tergolong Mewah yang diekspor dapat diminta kembali (restitusi).
2.4 Mekanisme Pengenaan PPN
    Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 menganut metode kredit pajak (credit method) serta metode faktur pajak (invoice method). Dalam metode ini Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). PPN dipungut secara bertingkat pada setiap jalur produksi dan distribusi. Unsur pengenaan pajak berganda atau pengenaan pajak atas pajak dapat dihindari dengan diterapkannya mekanisme pengkreditan pajak masukan (metode kredit pajak). Untuk melakukan pengkreditan pajak masukan, sarana yang digunakan adalah faktur pajak (metode faktur pajak).
Mekanisme pengenaan PPN dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Pada saat membeli/memperoleh BKP/JKP, akan dipungut PPN oleh PKP penjual. Bagi pembeli, PPN yang dipungut oleh PKP penjual tersebut merupakan pembayaran pajak di muka dan disebut dengan Pajak Masukan. Pembeli berhak menerima bukti pemungutan berupa faktur pajak.
2.  Pada saat menjual/menyerahkan BKP/JKP kepada pihak lain, wajib memungut PPN. Bagi penjual, PPN tersebut merupakan Pajak Keluaran. Sebagai bukti telah memungut PPN, PKP penjual wajib membuat faktur pajak.
3. Apabila dalam suatu masa pajak (jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim) jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada jumlah Pajak Masukan, selisihnya harus disetorkan ke kas negara.
4. Apabila dalam suatu masa pajak jumlah Pajak Keluaran lebih kecil daripada jumlah Pajak Masukan, selisihnya dapat direstitusi (diminta kembali) atau dikompensasikan ke masa pajak berikutnya.
5. Pelaporan penghitungan PPN dilakukan setiap masa pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN).
Contoh :


  • Sepanjang bulan Maret 2011, PT ABC mempunyai transaksi sebagai berikut:
  • Membeli bahan baku seharga Rp. 100.000.000,- (dipungut PPN sebesar Rp. 10.000.000,-)
  • Membeli bahan penolong seharga Rp. 40.000.000,- (dipungut PPN sebesar Rp. 4.000.000,-)
  • Menjual produknya seharga Rp. 200.000.000,- (memungut PPN sebesar Rp. 20.000.000,-)
  • Penghitungan PPN:
                Jumlah Pajak Keluaran                              Rp. 20.000.000,-
                Jumlah Pajak Masukan                              Rp. 14.000.000,-
                PPN kurang bayar                                      Rp.   6.000.000,-
Jumlah PPN kurang bayar sebesar Rp. 6.000.000,- ini harus disetorkan ke kas negara.
2.5 Karakteristik Pajak Masukan Dan Pajak Keluaran
      Pajak masukan adalah pajak yang dikenakan ketika Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian terhadap Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP). Pengusaha Kena Pajak, sering disebut PKP adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
    Pajak keluaran ialah pajak yang dikenakan ketika subjek pajak melakukan penjualan terhadap Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang tergolong dalam barang mewah. Sebagai salah satu jenis pajak, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) seringkali disebut sebagai pajak objektif. Pada PPN, hal yang pertama kali ditekankan adalah objek pajak yang akan dikenakan. Kemudian, subjek pajak yang terkena. Misalnya, barang-barang mewah, kendaraan mewah, dan sebagainya. Yang pertama dikenakan adalah tarif pada tiap-tiap barang tersebut. Kemudian, barulah wajib pajak pengkonsumsi barang tersebut yang dikenai beban pajaknya sehingga wajib pajak tersebut disebut sebagai subjek pajak.
    Dalam pengenaan pajak terhadap subjek pajak tersebut, terdapat dua kategori. Yaitu, pajak keluaran dan pajak masukan.  Dalam hal ini, subjek pajak yang dimaksud adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan transaksi jual beli barang. Artinya, PKP mengambil atau memungut rupiah yang dihasilkan dari penjualan Barang Kena Pajak (BKP) miliknya yang dibeli konsumen. Kemudian, nantinya dapat berfungsi menjadi kredit atau pengurang pajak. Menjadi kredit atau pengurang pajak karena sebelumnya sang PKP telah dikenai tarif pajak yang sama atas pembelian barang tersebut yang di kemudian hari dijual olehnya. Jadi, PPN dalam hal ini hanya terjadi pelimpahan beban. Adapun batas waktu untuk melakukan pengkreditan pajak keluaran tersebut adalah tiga bulan setelah masa pajak berakhir sehingga PKP memiliki waktu yang cukup leluasa untuk melakukan pengkreditan pajaknya.


2.6 Tata Cara Pengurangan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)
Waluyo (2010:65) menyusun seperti yang tertera pada karya ilmiahnya bahwa dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
a. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
b. Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
c. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
d. Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut.
e.  Penerima Jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
f. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.
g.    Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.
h.  Pengusaha Kena Pajak Penjual adalah Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak.
i. Pengusaha Kena Pajak Pemberi Jasa Kena Pajak adalah Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak.
j.  Pengembalian Barang Kena Pajak adalah pengembalian Barang Kena Pajak baik sebagian maupun seluruhnya oleh Pembelian Barang Kena Pajak.
k.  Pembatalan Jasa Kena Pajak adalah pembatalan seluruhnya atau sebagian hak atau fasilitas atau kemudahan oleh pihak penerima Jasa Kena Pajak.
Dalam hal Barang Kena Pajak yang diserahkan ternyata dikembalikan (return) oleh Pembeli, Pajak Penjualan atas Barang Mewah dari Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut dapat mengurangi Pajak Keluaran dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual.
2.7 Jenis Kendaraan Bermotor yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)
            Waluyo (2010:78) menyusun bahwa dalam Keputusan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
  1. PPnBM adalah Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
  2. Kendaraan sasis adalah rangka kendaraan yang telah dilengkapi dengan motor bakar dan atau dengan transmisinya serta gandar poros dan gandar yang terpasang yang bisa dimodifikasi menjadi kendaraan bermotor sesuai dengan kegunaannya.
  3. Kendaraan bermotor dalam keadaan terurai sama sekali (Completely Knocked Down) yang selanjutnya disebut Kendaraan CKD adalah kendaraan bermotor dalam keadaan terurai menjadi bagian-bagian termasuk perlengkapannya yang memiliki sifat utama kendaraan bermotor yang bersangkutan.
  4. Kendaraan bermotor dalam keadaan jadi (Completely Built Up) yang selanjutnya disebut Kendaraan CBU adalah kendaraan bermotor dalam keadaan tidak terurai menjadi bagian-bagian termasuk perlengkapannya serta memiliki sifat utama kendaraan bermotor yang bersangkutan.
  5. Kendaraan khusus adalah kendaraan bermotor yang dibuat untuk digunakan secara khusus seperti untuk golf, perjalanan di atas salju, di pantai, di gunung, termasuk trailer dan semi trailer dari jenis tipe cara untuk perumahan atau kemah.
  6. Kendaraan pengangkutan orang adalah kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan penumpang termasuk sedan atau station wagon.
  7. Kendaraan pengangkutan barang adalah kendaraan bermotor dengan kabin tunggal dalam bentuk kendaraan bak terbuka atau bak tertutup, dengan jumlah penumpang tidak lebih dari 3 (tiga) orang termasuk pengemudi yang digunakan untuk kegiatan pengangkutan barang baik yang disediakan untuk umum maupun pribadi.
  8. Kendaraan Double Cabin adalah kendaraan bermotor dengan kabin ganda dalam bentuk kendaraan hak terbuka atau bak tertutup, dengan penumpang lebih dari 3 (tiga) orang termasuk pengemudi, dengan massa total tidak lebih dari 5 ton.
  9. Kendaraan pengangkutan umum adalah kendaraan bermotor yang digunakan untuk kegiatan pengangkutan orang dan/atau barang yang disediakan untuk umum dengan dipungut bayaran selain dengan cara persewaan, baik dalam trayek maupun tidak dalam trayek, sepanjang menggunakan plat dasar polisi dengan warna kuning.
  10. Kendaraan protokoler kenegaraan adalah semua jenis kendaraan bermotor yang digunakan untuk keperluan rombongan kepresidenan atau yang digunakan berkenaan dengan penyambutan tamu-tamu kenegaraan, tidak termasuk kendaraan bermotor yang digunakan oleh pejabat atau karyawan.
  11. Kendaraan patroli TNI/POLRI adalah kendaraan bermotor yang digunakan untuk keperluan patroli TNI atau POLRI.
    Kelompok Barang Kena Pajak tergolong mewah yang dikenakan PPnBM diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP), sedangkan untuk jenis dan tarif barangnya, sehingga dapat dilaksanakan pemungutan PPnBMnya, ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan (PMK).
    Bila kendaraan-kendaraan tersebut dalam jangka waktu lima tahun sejak impor atau perolehannya, ternyata dipindahtangankan atau diubah peruntukannya, sehingga tidak sesuai dengan tujuan semula, maka PPnBM yang terutang pada saat impor atau perolehannya tersebut, wajib dibayar kembali dalam jangka waktu satu bulan sejak Barang Kena Pajak tersebut dipindahtangankan atau diubah peruntukannya, demikian diatur dalam ayat (2) PP 12/2006.

2.8 Cara Menghitung PPN dan Cara Menghitung PPn BM
           1)    Cara Menghitung PPN
            Cara menghitung PPN adalah sebagai berikut :


PPN = Dasar Pengenaan Pajak  x Tarif Pajak

            Contoh :
1.   Pengusaha kena pajak “A” menjual tunai BKP kepada Pengusaha Kena Pajak “B” dengan Harga Jual Rp. 25. 000.000,- PPN yang terutang:
     10 % x Rp. 25.000.000,- = Rp. 2.500.000,-
  PPN sebesar Rp. 2.500.000,- tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak “A”. Sedangkan bagi pengusaha kena pajak “B”, PPN tersebut merupakan Pajak Masukan.
2.    Seseorang mengimpor BKP dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor Rp. 15.000.000,-. PPN yang dipungut melalui Direktorat Jendral Bea dan Cukai:
     10 x Rp. 15.000.000,- = Rp. 1.500.000,-
           2)    Cara Menghitung Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)
            Cara menghitung PPn BM adalah sebagai berikut:
PPn BM = Dasar Pengenaan Pajak  x Tarif Pajak

            Contoh :
PKP “ABC” sebagai pabrikan menyerahkan barang hasil produksinya dengan harga jual Rp. 10.000.000,-. Barang tersebut merupakan BKP yang Tergolong Mewah dengan tarif PPn BM sebesar 40 %. Penghitungan pajak yang harus dipungut adalah sebagai berikut:
PPN                       = 10 % x Rp. 10.000.000,- = Rp. 1.000.000,-
PPn BM                 = 40 % x Rp. 10.000.000,- = Rp. 4.000.000,-

2.9 Saat Terutang Pajak
Pajak terutang pada saat:
  1. Penyerahan BKP atau JKP;
  2. Impor BKP;
  3. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
  4. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean;
  5. Ekspor BKP Berwujud;
  6. Ekspor BKP Tidak Berwujud;
  7. Ekspor JKP;
  8. Pembayaran, pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau sebelum penyerahan JKP atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean.
 2.9.1 Tempat Terutang Pajak
1.    Untuk penyerahan BKP/JKP:
a.    Tempat tinggal.
b.    Tempat kedudukan.
c.    Tempat kegiatan usaha.
d.   Tempat lain.
Apabila Pengusaha Kena Pajak terutang pajak pada lebih dari 1 (satu) tempat kegiatan usaha, Pengusaha Kena Pajak tersebut dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat terutangnya pajak.
2.  Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi ditempat Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat Jendral Bea dan Cukai.
3.   Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha.
4. Untuk kegiatan membangun sendiri oleh PKP yang dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya atau oleh bukan PKP, di tempat bangunan tersebut didirikan.


2.9.2 Faktur Pajak
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP.
            Faktur Pajak dibuat pada:
a.    Saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
b. Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
c.    Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
d.   Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP yang paling sedikit memuat:
a.    Nama, alamat, dan NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP;
b.    Nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP;
c.    Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d.   PPN yang dipungut;
e.    PPn BM yang dipungut;
f.     Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g.    Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
Faktur Pajak harus dibuat pada:
a.    Saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
b. Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
c.    Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan;
d. Untuk Faktur Pajak gabungan harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
e.  Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.


2.10 Mekanisme Kredit Pajak
       Pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean wajib membayar Pajak Pertambahan Nilai dan berhak menerima bukti pungutan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak.
      Pajak Masukan yang wajib dibayar tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungutnya dalam Masa Pajak yang sama. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
      Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, maka selisihnya merupakan PPN yang harus disetorkan oleh PKP ke Kas Negara paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat Pemberitahuan masa PPN disampaikan. Sedangkan apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluarannya, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali (restitusi) atau dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya.
Contoh 1 :
Selama bulan takwim terjadi kegiatan usaha sebagai berikut:
1. Membeli bahan baku dan lain-lain dari pabrikan Rp. 100.000.000,-
2. Menyerahkan hasil produksi dengan harga jual Rp.  60.000.000,-
Pajak Masukan yang dipungut oleh PKP lain adalah sebesar:
10 % x Rp. 100.000.000,- = Rp. 10.000.000,-
Pajak Keluaran yang harus dipungut:
10 % x Rp. 60.000.000,- = Rp. 6.000.000,-
PPN yang lebih dibayar dalam Masa Pajak yang bersangkutan:
Rp. 10.000.000,-   –   Rp. 6.000.000,- = Rp. 4.000.000,-
Kelebihan tersebut dapat dikompensasi pada Masa Pajak berikutnya atau dapat diminta kembali (restitusi).
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar dari Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan pajak yang harus disetor ke Kas Negara oleh PKP.

Contoh 2 :
Selama bulan takwim terjadi kegiatan usaha sebagai berikut:
1. Membeli bahan baku dan lain-lain dari pabrikan Rp. 150.000.000,-
2. Menyerahkan BKP hasil produksi dengan harga jual Rp. 200.000.000,-
Pajak Masukan yang dipungut oleh PKP lain adalah sebesar:
10 % x Rp. 150.000.000,- = Rp. 15.000.000,-
Pajak Keluaran yang harus dipungut:
10% x Rp. 200.000.000,- = Rp. 20.000.000,-
PPN yang masih harus disetor ke Kas Negara:
Rp. 20.000.000,-   –   Rp. 15.000.000,- = Rp. 5.000.000,-


2.11 Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan
     Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan terhadap Pajak Keluaran. Akan tetapi tidak semua Pajak Masukan dapat dikreditkan. Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk:
a.    Perolehan BKP atau JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.
b.    Perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha.
c.    Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.
d.   Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.
e.  Perolehan BKP atau JKP yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) UU PPN 1984 atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli BKP atau penerima JKP.
f.  Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (6) UU PPN 1984.
g.    Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak.
h.  Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam SPT masa PPN, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.
i.     Perolehan BKP selain barang modal atau JKP sebelum PKP berproduksi.
j.  Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan  Nilai.
k.    Berkenaan dengan kegiatan membangun sendiri.

2.12 Penyerahan Kepada Pemungut PPN
      Sedikit menyimpang dari mekanisme yang secara umum berlaku, apabila PKP menyerahkan BKP dan/atau JKP kepada pemungut PPN, PKP yang bersangkutan tidak memungut PPN dan PPn BM. PPN dan PPn BM yang terutang atas penyerahan tersebut akan dipungut dan disetorkan ke kas Negara oleh pemungut PPN.
      Pengertian Pemungut PPN menurut Undang-undang PPN 1984 adalah bendaharawan pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP kepada bendaharawan pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah tersebut.
Menurut ketentuan yang berlaku saat ini, yang ditetapkan sebagai Pemungut PPN adalah:
  1. Bendaharawan Pemerintah, yaitu Bendaharawan atau Pejabat yang melakukan pembayaran yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang terdiri dari Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah baik Provinsi, Kabupaten, atau Kota.
  2. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN)


Pemungutan PPN yang melakukan pembayaran atas penyerahan BKP dan atau JKP oleh Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah, wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPn BM yang terutang. Pemungutan PPN dan PPn BM dilakukan pada saat dilakukan pembayaran oleh Bendaharawan Pemerintah atau KPPN kepada PKP Rekanan Pemerintah. PPN dan PPn BM tidak dipungut dalam hal:
1. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
2.    Pembayaran untuk pembebasan tanah;
3. Pembayaran atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang menurut ketentuan perundang- undangan yang berlaku, mendapat fasilitas PPN tidak dipungut dan/atau dibebaskan dari pengenaan PPN;
4.    Pembayaran atas penyerahan Bahan Bakar Minyak dan Bukan Bahan Bakar Minyak oleh PT (Persero) Pertamina;
5.    Pembayaran atas rekening telepon;
6.    Pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan;
7.   Pembayaran lainnya untuk penyerahan barang atau jasa yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak dikenakan PPN.
Catatan:
PPN dan PPn BM yang terutang sehubungan dengan pembayaran yang jumlahnya paling banyak jumlah Rp 1.000.000,00, dipungut dan disetor oleh Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah sesuai dengan ketentuan yang berlaku umum. Batas jumlah pembayaran sebesar Rp 1.000.000,00 tersebut hendaknya diartikan termasuk PPN dan PPn BM.


2.13 Tata Cara Pemungutan

     1.    Dasar Pemungutan
Dasar pemungutan PPN dan PPn BM adalah jumlah pembayaran yang dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintah atau jumlah pembayaran yang dilakukan oleh KPPN sebagaimana tersebut dalam Surat Perintah Membayar (SPM).

     2.    Jumlah atau PPn BM yang Dipungut
a.    Dalam hal penyerahan BKP hanya terutang PPN, maka jumlah PPN yang dipungut adalah 10/110 bagian dari jumlah pembayaran.
Contoh:
Jumlah Pembayaran                                             Rp 11.000.000,00
Jumlah PPN : 10/110 x Rp 11.000.000,00          Rp   1.000.000,00
Sisa yang dibayarkan kepada PKP rekanan
( Rp 11.000.000,00 – Rp 1.000.000,00)             Rp 10.000.000,00
b.  Dalam hal penyerahan BKP yang tergolong mewah dari pengusaha yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah tersebut, disamping terutang PPN juga terutang PPn BM, maka jumlah PPN dan PPn BM yang dipungut adalah sebagai berikut:
Dalam hal terutang  PPn BM sebesar 20%, maka jumlah PPN yang dipungut sebesar 10/130 bagian dari jumlah pembayaran sedangkan jumlah PPn BM yang dipungut sebesar 20/130 bagian dari jumlah pembayaran.
Contoh:
PPn BM dengan tarif 20%
Jumlah Pembayaran                                           Rp 13.000.000,00
Jumlah PPN yang dipungut:
(10/130 x Rp 13.000.000,00)                            Rp   1.000.000,00
Jumlah PPn BM yang dipungut:
(20/130) x Rp 13.000.000,00)                           Rp   2.000.000,00
Sisa yang dibayarkan kepada PKP rekanan:
Rp 13.000.000,00 – ( Rp 1.000.000,00 + Rp 2.000.000,00) = Rp10.000.000,00
c.  Dalam hal pembayaran berjumlah paling banyak  Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan jumlah yang terpecah-pecah, maka PPN dan PPn BM tidak perlu dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah. Batas jumlah pembayaran sebesar Rp 1.000.000,00
Contoh 1:
Harga Jual                                                               Rp      900.000,00
PPN: 10% x Rp 900.000,00                                   Rp        90.000,00
PPn BM (Misal terutang dengan tarif 20%)           Rp      180.000,00
Harga Jual termasuk PPN dan PPn BM                 Rp  1. 170.000,00
Meskipun Harga Jual Rp 900.000,00 tetapi karena pembayaran termasuk PPN dan PPn BM berjumlah Rp 1.170.000,00 (di atas Rp 1.000.000,00), maka PPN dan PPn BM yang terutang harus dipungut oleh Bendahawaran Pemerintah atau KPPN.

Contoh 2:
Harga Jual                                                               Rp      800.000,00
PPN: 10% x Rp 800.000,00                                   Rp        80.000,00
PPn BM (Misal terutang dengan tarif 10%)           Rp        80.000,00
Harga Jual termasuk PPN dan PPn BM                 Rp      960.000,00
Karena Harga Jual termasuk PPN dan PPn BM berjumlah Rp 960.000,00 (kurang dari Rp 1.000.000,00), maka PPN dan PPn BM yang terutang tidak perlu dipungut oleh Bendahawaran Pemerintah dan KPPN, tetapi harus dipungut dan disetor oleh PKP Rekanan Pemerintah, dan Faktur Pajak tetap harus dibuat.

3. Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran
a.    PKP rekanan Pemerintah membuat Faktur Pajak dan SSP pada saat menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan Pemerintah atau KPPN baik untuk sebagian maupun seluruh pembayaran.
b.    SSP sebagaimana dimaksud pada huruf a diisi dengan membubuhkan NPWP dan identitas PKP Rekanan Pemerintah yang bersangkutan, tetapi penandatanganan SSP dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintah atau KPKN sebagai penyetor atas nama PKP Rekanan Pemerintah.
c. Dalam hal penyerahan BKP tersebut terutang PPn BM maka PKP rekanan Pemerintah mencantumkan jumlah PPn BM yang terutang pada Faktur Pajak.
d.   Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a dibuat dalam rangkap 3 (tiga):
·      Lembar ke-1 untuk Bendaharawan Pemerintah atau KPPN sebagai Pemungut PPN.
·      Lembar ke-2 untuk arsip PKP rekanan Pemerintah.
·   Lembar ke-3 untuk Kantor Pelayanan Pajak melalui Bendaharawan Pemerintah atau KPPN.
e.    Dalam hal pemungutan oleh Bendaharawan Pemerintah, SSP sebagaimana dimaksud pada huruf a dibuat rangkap 5 (lima). Setelah PPN dan  atau PPn BM disetor di Bank Persepsi atau Kantor Pos, lembar-lembar SSP tersebut diperuntukkan sebagai berikut:
·      Lembar ke-1 untuk PKP Rekanan Pemerintah.
·      Lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak melalui KPPN.
·      Lembar ke-3 untuk PKP Rekanan Pemerintah dilampirkan pada SPT Masa PPN.
·      Lembar ke-4 untuk Bank Persepsi atau Kantor Pos.
·      Lembar ke-5 untuk pertinggal Bendaharawan Pemerintah.
f.     Dalam hal pemungutan oleh KPPN, SSP sebagaimana dimaksud pada huruf a dibuat dalam rangkap 4 (empat) yang masing-masing diperuntukkan sebagai berikut:
·      Lembar ke-1 untuk PKP Rekanan Pemerintah.
·      Lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak melalui KPPN.
·      Lembar ke-3 untuk PKP rekanan Pemerintah dilampirkan pada SPT Masa PPN.
·      Lembar ke-4 untuk pertinggal KPPN.
g. Pada lembar Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d oleh Bendaharawan Pemerintah yang melakukan pemungut wajib dibubuhi cap “Disetor tanggal ………” dan ditandatangani oleh Bendaharawan Pemerintah.
h.  Pada setiap lembar Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d dan SSP sebagaimana dimaksud pada huruf f oleh KPPN yang melakukan pemungutan dicantumkan nomor dan tanggal advis SPM.
i.  SSP lembar ke-1 dan lembar ke-2 sebagaimana dimaksud pada huruf f dibubuhi cap “TELAH DIBUKUKAN” oleh KPPN.
j.    Faktur Pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran PPN dan atau PPn BM.

2.14 PPN Atas Kegiatan Membangun Sendiri dan Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) PPN
            1.    PPN Atas Kegiatan Membangun Sendiri
Atas kegiatan membangun sendiri terutang Pajak Pertambahan Nilai. Yang dimaksud dengan kegiatan membangun sendiri adalah kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. Sedangkan yang dimaksud dengan bangunan berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria:
a.    Konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja;
b.    Diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan
c.    Luas keseluruhan paling sedikit 300 m2 (tiga ratus meter persegi).


1)   Tarif dan Dasar Pengenaan pajak
Atas kegiatan membangun sendiri dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% (sepuluh persen) dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak. Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan membangun sendiri adalah 40% (empat puluh persen) dari jumlah biaya  yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun sendiri, tidak termasuk harga perolehan tanah. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang setiap bulan dihitung dengan cara:
PPN = (40% x Jumlah Biaya yang Dikeluarkan) x 10%



Contoh:
Tuan Budi melakukan kegiatan membangun sendiri bangunan dengan luas 400 m2 yang akan digunakan sebagai rumah tinggal. Seluruh biaya yang dikeluarkan pada bulan April 2010 (diluar pembelian tanah) adalah sebesar Rp 50.000.000,00. PPN yang harus disetorkan adalah:
PPN            = (Rp 50.000.000,00 x 40% ) x 10%
                    = Rp 20.000.000,00 x 10%
                    = Rp 2.000.000,00
Catatan:
Pajak Masukan yang dibayar sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri tidak dapat dikreditkan.
2)   Saat dan Tempat Terutang PPN
Saat terutang PPN atas kegiatan membangun sendiri adalah pada saat mulai dibangunnya bangunan. Sedangkan tempat pajak terutang adalah tempat bangunan tersebut didirikan.
Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri harus menyetorkan PPN yang terutang ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak. Kegiatan membangun sendiri wajib dilaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat bangunan tersebut dengan mempergunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.
   2. Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) PPN
Surat Pemberitahuan Masa merupakan laporan bulanan yang dapat disampaikan oleh Pengusaha Kena Pajak, mengenai penghitungan:
                       1.     Pajak Masukan berdasarkan realisasi pembelian BKP atau realisasi penerimaan JKP.
                       2.     Pajak Keluaran berdasarkan realisasi pengeluaran BKP/JKP.
                       3.     Penyetoran pajak atau kompensasi.
Bagi Pengusaha Kena Pajak penyampaian SPT:
1. PKP wajib melaporkan perhitungan pajak tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak (Kantor Pelayanan Pajak).
2.    Dilakukan paling lambat tanggal 20 setelah akhir masa pajak.
3.    Menggunakan formulir SPT Masa.
4. Keterangan dan dokumen yang dicantumkan jika tidak atau tidak sepenuhnya melaksanakan ketentuan UU PPN 1984.
5.   Pelantukan juga Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
                                    1.     Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) merupakan pajak yang dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tersebut di dalam Daerah Pabean Indonesia dalam usaha atau pekerjaannya dan impor barang yang tergolong mewah.
Untuk menghitung besarnya pajak PPnBM yang terutang perlu adanya Dasar Pengenaan Pajak (DPP). yang menjadi DPP menurut Mardiasmo (2011:285) adalah:
                       1.     Harga jual.
                       2.     Penggantian.
                       3.     Nilai impor.
                       4.     Nilai ekspor.
                       5.     Nilai lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
           2.    Tarif
1)   Tarif Pajak Pertambahan Nilai
        Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah diberi wewenang mengubah tarif Pajak Pertambahan Nilai menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal. Perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat ini dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka pembahasan dan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
2)   Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)
        Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat ditetapkan dalam beberapa kelompok tarif, yaitu paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen). Ketentuan mengenai tarif kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan ketentuan mengenai jenis barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
        3.   Mekanisme Pengenaan PPN
        Mekanisme pengenaan PPN dapat digambarkan sebagai berikut:
  1. Pada saat membeli/memperoleh BKP/JKP, akan dipungut PPN oleh PKP penjual. Bagi pembeli, PPN yang dipungut oleh PKP penjual tersebut merupakan pembayaran pajak di muka dan disebut dengan Pajak Masukan. Pembeli berhak menerima bukti pemungutan berupa faktur pajak.
  2. Pada saat menjual/menyerahkan BKP/JKP kepada pihak lain, wajib memungut PPN. Bagi penjual, PPN tersebut merupakan Pajak Keluaran. Sebagai bukti telah memungut PPN, PKP penjual wajib membuat faktur pajak.
  3. Apabila dalam suatu masa pajak (jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim) jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada jumlah Pajak Masukan, selisihnya harus disetorkan ke kas negara.
  4. Apabila dalam suatu masa pajak jumlah Pajak Keluaran lebih kecil daripada jumlah Pajak Masukan, selisihnya dapat direstitusi (diminta kembali) atau dikompensasikan ke masa pajak berikutnya.
  5. Pelaporan penghitungan PPN dilakukan setiap masa pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN).

      4.    Karakteristik Pajak Masukan dan Pajak Keluaran
Pajak masukan adalah pajak yang dikenakan ketika Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian terhadap Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP).
Pajak keluaran ialah pajak yang dikenakan ketika subjek pajak melakukan penjualan terhadap Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang tergolong dalam barang mewah.
      5.      Cara Menghitung PPN dan Cara Menghitung PPn BM
1)   Cara Menghitung PPN
     Cara menghitung PPN adalah sebagai berikut :


PPN = Dasar Pengenaan Pajak  x Tarif Pajak
2)   Cara Menghitung Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)
     Cara menghitung PPn BM adalah sebagai berikut:
PPn BM = Dasar Pengenaan Pajak  x Tarif Pajak

       6.      Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak
        Pajak Pertambahan Nilai yang terutang setiap bulan dihitung dengan cara:
PPN = (40% x Jumlah Biaya yang Dikeluarkan) x 10%

3.2 Saran

            Masyarakat dan pihak yang merupakan wajib pajak haruslah lebih proaktif dan mempunyai kesadaran untuk megetahui berbagai hal yang berkaitan dengan pembayaran pajak dan aturan-aturannya. Sementara itu     Pemerintah harus bersikap bijak dengan tidak mengkorupsi uang pajak, dan sepenuhnya menggunakan hasil pungutan pajak untuk kepentingan masyarakat dan kemajuan bangsa, sehingga terjadi hubungan yang baik antara masyarakat dan Pemerintah dalam urusan pajak.

0 Response to "MAKALAH PAJAK PPNBm"

Post a Comment

SITEMAP

Contak Us