BAB 1
1.1 Latar
Belakang
Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang
Pajak Penghasilan (PPh) berlaku sejak januari 1984. Undang-undang ini telah
beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir kali diubah dengan undang-undang
Nomor 36 Tahun 2008.
Undang-undang Pajak Penghasilan
(PPh) mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan
dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek
pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan,
dalam unddang-undang PPh disebut wajib pajak.
Undang-Undang PPh menganut asas
Materiil, artinya penentuan mengenai pajak yang terutang tidak tergantung
kepada surat ketetapan pajak.Oleh karena itu dalam makalah ini kelompok
kami menjabarkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pajak penghasilan dimana
didalamnya termuat beberapa bahasan yaitu mengenai subjek pajak yang
dikenakan dalam pajak penghasilan, objek pajak penghasilan serta mekanisme
pemajakan dan pemungutan pajak penghasilan
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas
dalam makalah ini yaitu:
1. Apa itu subjek pajak dan wajib
pajak?
2. Siapa saja yang termasuk subjek
pajak dalam Pajak Penghasilan?
3. Apa sajakah yang termasuk dalam
objek pajak dalam pajak penghasilan?
4. Bagaimanakah Mekanisme
Pemajakan dan Perhitungan Rumus Umum PPh?
1.3 Tujuan Pembahasan
Penulisan makalah ini bertujuan
untuk :
1. Mengetahui pengertian dari subjek
pajak dan wajib pajak
2. Mengetahui siapa saja yang termasuk
dalam subjek pajak dalam pajak penghasilan
3. Mengetahui apa saja yang termasuk
dalam objek pajak PPh
4. Mengetahui mekanisme pemajakan dan
perhitungan PPH
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Subjek Pajak
Pajak Penghasilan dikenakan terhadap
Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun
pajak. Yang menjadi subjek pajak adalah:
1. Orang pribadi;
Orang pribadi sebagai subjek dapat bertempat tinggal
atau berada di Indonesia ataupun luar negeri Indonesia.
2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan,
menggatikan yang berhak.
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan yang
ditinggalkan oleh orangpribadi Subjek Pajak dalam negeri dianggap sebagai
Subjek Pajak dalam negeri yang berarti dalam hal ini adalah status
pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan
tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan
tersebut telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris.
3. Badan.
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang
merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha
yang meliputi, perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya,BUMN/BUMD, badan usaha milik kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
4. Bentuk usaha tetap.
Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk
usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (setaus delapan puluh
tiga) hari dalam jangka waktu (12) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri
Subjek pajak dalam negeri dalam
peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia terdiri dari:
a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia; atau
· Orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu12
(dua belas) bulan.
· orang pribadi yang dalam tahun pajak
berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
b. Badan, yang
didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari
badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
· Pembentukannya berdasarkan kemampuan
perundang-undangan ;
· Pembiayaan bersumber dari Anggaran
pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
· Penerimaannya dimasukan dalam
anggaran Pemerintah pusat atau Pemerintahan Daerah; dan
· Pembukuannya diperiksa oleh aparat
pengawasan fungsional Negara.
c. Subjek Pajak Warisan
Yaitu
warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
Sedangkan yang dimaksud dengan
subjek pajak luar negeri adalah:
1. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
2. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di indonesia.
Kewajiban pajak subjektif
Kewajiban pajak subjektif mengandung
arti bahwa seseorang, sesuatu atau badan sudah memenuhi syarat untuk dikenakan
pajak Penghasilan dilihat dari sudut subjeknya.. Saat mulai dan berakhirnya
kewajiban pajak subjektif ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk wajib pajak orang pribadi dalam negeri
Dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan,
berada, atau berniat untuk bertempat tingga di Indonesia dan berakhir pada saat
meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
2. Untuk subjek pajak badan dalam
negeri
Dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak
lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
3. Untuk subjek pajak luar negeri berupa BUT:
Dimulai pada saat orang pribadi atau badan menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (5) UU
PPh dan berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan
tersebut.
4. Untuk subjek pajak luar negeri non BUT
Dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir pada saat
tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.
5. Untuk warisan yang belum dibagi
Dimulai pada
saat timbulnya warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan dan berakhir
pada saat warisan selesai dibagikan.Jangka waktu pengenaan pajak penghasilan
ini dinamakan tahun pajak sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1 UU Pajak
Penghasilan. Tahun pajak ini pada umumnya adalah tahun takwim mulai dari 1
Januari sampai dengan 31 Desember.Jika kewajiban pajak subjektif bermula atau
berakhir di pertengahan akhir pajak, maka pengenaan pajak ini tidak penuh dalam
satu tahun pajak tetapi dalam bagian tahun pajak.
Tidak termasuk subjek pajak
Yang tidak termasuk subjek pajak adalah:
1. Kantor perwakilan negara asing;
2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsultan,
dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing, dan bertempat tinggal
bersama-sama mereka, dengan syarat :
· bukan warga negara Indonesia dan di
Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut.
· negara yang bersangkutan memberikan
perlakuan timbal balik;
3. Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat:
a. Indonesia menjadi anggota organisasi terrsebut;
b. Tidak
menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari
iuran para anggota;
4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional
yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangandengan syarat:
· bukan warga negara Indonesia.
· tidak menjalankan usaha atau
kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
2.2 OBJEK PAJAK
Yang menjadi objek pajak adalah
penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia,
yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk :
a. Penggantian atau imbalan berkenaan
dengan pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji,
honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan,
pengacara, dan sebagainya;
b. Hadiah dari undian, pekerjaan, atau
kegiatan dan penghargaan;
Yang dimaksud dengan hadiag adalah hadiah dari undian,
pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari
pertandingan olahraga dan lain sebagainya.
c. Laba usaha
Laba usaha adalah selisih lebih antara penjualan
dikurangi dengan harga pokok penjualan dan beban-beban usaha.
Laba Usaha = Penjualan – Harga Pokok Penjualan + Beban
Beban Usaha
d. Keuntungan karena penjualan atau
karena pengalihan harta termasuk:
· Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;.
· Keuntungan yang diperoleh perseroan,
persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham,
sekutu atau anggota;
Maksudnya penjualan harta terjadi antara badan usaha
dengan pemegang sahamnya, maka harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk
penghitungan keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga pasar.
· Keuntungan karena likuidasi,
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha, atau
reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apapun;
Jika suatu badan likuidasi, keuntungan dari penjualan
harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dengan nilai
sisa buku harta tersebut, merupakan objek pajak. Sama halnya dengan selisih
lebih antara harga pasar dengan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan,
peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan
penghasilan.
· Keuntungan karena pengalihan harta
berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau
badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
· Keuntungan karena penjualan atau
pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam
pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak
yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian
pajak;Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat
menghitung penghasilan kena pajak, merupakan objek pajak.
Sebagai contoh, pajak bumi dan bangunan yang sudah
dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena suatu sebab dikembalikan,
maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.
f. Bunga termasuk premium, diskonto,
dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual
di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli
di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang
membeli obligasi.
g. Dividen, dengan nama dan dalam
bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis,
dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang
saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi
yang diperoleh anggota koperasi.
Dalam praktek sehari-hari sering
dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalam
hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman
kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Jika terjadi hal
yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dengan tingkat
bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang
diperlukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh
perseroan yang bersangkutan.
h. Royalti;
Imbalan atau penggantian berupa royalti terdiri dari tiga
kelompok, yaitu imbalan sehubungan dengan penggunaan:
1) Hak atas harta tak berwujud,
misalnya hak pengarang, paten, merek dagang, formula, atau rahasia perusahaan;
2) Hak atas harta berwujud, misalnya
hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud
dengan alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan adalah setiap
peralatan yang mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatan-peralatan yang
digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran minyak
(drilling rig), dan sebagainya;
3) Informasi, yaitu informasi yang
belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnya
pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri dari informasi
dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya
tidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Tidak
termasuk dalam pengertian informasi adalah informasi yang diberikan oleh
misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau ahli teknik sesuai dengan bidang
keahliannya, yang dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar
belakang disiplin ilmu yang sama.
Menurut Undang-Undang PPh, royalti
adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan
apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas:
1. Penggunaan atau hak menggunakan hak
cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, patem, desain atau
model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak
kekayaan intelektual/ industrial atau hak serupa lainnya;
2. Penggunaan atau hak menggunakan
peralatan/ perlengkapan industrial, komersial atau ilmiah;
3. Pemberian pengetahuan atau informasi
di bidang ilmiah, teknikal, industrial atau komersial;
4. Pemberian bantuan tambahan atau
pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut
pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/ perlengkapan tersebut
pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3,
berupa :
· Penerimaan atau hak menerima rekaman
gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat
melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
· Penggunaan atau hak menggunakan
rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau
radio yang disiarkan/ dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau
teknologi yang serupa;
· Penggunaan atau hak menggunakan
sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;
5. Penggunaan atau hak menggunakan film
gambar hidup (notion picture films), film atau pita video untuk siaran
televisi, atau pita suara untuk siaran radio;
6. Pelepasan seluruhnya atau sebagian
hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberikan hak kekayaan intelektual/
industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta;
Yang dimaksud dengan sewa adalah imbalan yang diterima
atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan
harta gerak atau harta tak gerak, seperti sewa mobil, sewa alat berat, sewa
kantor, sewa rumah dan sewa gudang.
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran
berkala;
Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya
“alimentasi” atau tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang
dalam waktu tertentu.
k. Keuntungan berupa pembebasan utang,
kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah;
Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap
sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang
berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya.
Namun demikian, dengan Peraturan Pemerintah dapat
ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur misalnya Kredit Usaha Keluarga
Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR),
kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai
dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai objek pajak.
l. Keuntungan karena selisih kurs mata
uang asing;
Keuntungan karena selisih kurs dapat disebabkan
fluktuasi kurs mata yang asing atau adanya kebijaksanaan Pemerintah di
bidang moneter. Atas keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang
asing, pengenaan pajaknya dikaitkan dengan sistem pembukuan yang dianut oleh
wajib pajak dengan syarat dilakukan secara taat azas sesuai dengan Standar
Akuntansi Keungan.
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
Untuk dapat melakukan penilaian kembali aktiva tetap
perusahaan untuk tujuan perpajakan, wajib pajak tidak lagi menyampaikan
pemberitahuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak melainkan wajib mengajukan
permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak
tempat wajib pajak terdaftar, untuk mendapatkan Keputusan Persetujuan Direktur
Jenderal Pajak terlebih dahulu.
Permohonan wajib pajak harus dilampiri dengan:
· Fotokopi surat ujin usaha penilai
yang dilegalisir oleh instansi Pemerintah yang berwenang memberikan surat ijin
usaha tersebut;
· Laporan penilaian perusahaan jasa
penilai atau ahli penilai profesional yang diakui pemerintah;
· Daftar Penilaian Kembali Aktiva
Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan;
· Laporan Keuangan tahun buku terakhir
sebelum penilaian kembali aktiva tetap yang telah diaudit akuntan publik;
· Surat Keterangan tidak mempunyai
tunggakan pajak dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak
terdaftar.
n. Premi asuransi;
Perhitungan tingkat premi harus didasarkan pada asumsi
yang wajar dan praktek asuransi yang berlaku umum.
Penetapan tarif premi asuransi kerugian harus
dilakukan dengan mempertimbangkan sekurang-kurangnya:
1. Premi murni yang dihitung
berdasarkan profil kerugian (risk and loss profile) jenis asuransi yang
bersangkutan untuk sekurang-kurangnya 5 tahun terakhir;
2. Biaya akuisisi, biaya administrasi
dan biaya umum lainnya.
Penetapan tarif premi asuransi jiwa harus dilakukan
dengan mempertimbangkan sekurang-kurangnya:
1. Premi murni yang dihitung
berdasarkan tingkat bunga, tabel mortalita, atau tabel morbidita yang
dipergunakan;
2. Biaya akuisisi, biaya administrasi
dan biaya umum lainnya;
3. Prakiraan hasil investasi dari
premi.
o. Iuran yang diterima atau diperoleh
perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan
usaha atau pekerjaan bebas;
Iuran yang dibayar oleh anggota kepada perkumpulan
yang dihitung berdasarkan volume kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari
anggota tersebut, misalnya iuran yang besarnya ditentukan berdasarkan volume
ekspor, satuan produksi atau satuan penjualan adalah penghasilan bagi
perkumpulan tersebut.
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal
dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan
akumulasi penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan objek
pajak serta yang belum dikenakan pajak. Jika diketahui adanya tambahan kekayaan
neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang
bukan objek pajak, maka tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi
penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan objek pajak, maka
tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.
q. Penghasilan dari usaha yang berbasis
syariah;
Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan
filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional.
r. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara
perpajakan; dan
s. Surplus Bank Indonesia.
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN TERTENTU
Sesuai dengan pengertian tentang
penghasilan yang luas, yang dianut oleh Undang-Undang Pajak Penghasilan
Indonesia, penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
a. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan
lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang
dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
b. Penghasilan berupa hadiah undian;
c. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas
lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi
penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya
yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa
tanah dan/ atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan
persewaan tanah dan bangunan; dan
e. Penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Dengan mempertimbangkan kemudahan
dalam pelaksanaan pengenaan serta agar tidak menambah beban administrasi baik
bagi wajib pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, maka pengenaan pajak
penghasilan dalam ketentuan ini dapat bersifat final.Atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari transaksi penjualan saham
di bursa efek dipungut pajak penghasilan yang bersifat final.Besarnya pajak
penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 0,1% dari jumlah bruto
nilai transaski penjualan.”
TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK
Penghasilan-penghasilan tertentu
yang diterima atau diperoleh wajib pajak tidak dikarenakan pajak penghasilan
(yang tidak termasuk sebagai objek pajak) adalah :
1. Bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh
badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan para penerima zakat yang berhak;
2. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan
pendidikan atau Menteri Keungan; sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
a. Warisan;
Yang dimaksud dengan warisan di sini adalah
peninggalan harta dari keluarga yang sedarah satu garis lurus di atas ahli waris.
b. Harta termasuk setoran tunai yang
diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyerahan
modal;
c. Penggantian atau imbalan sehubungan
dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura
(benefit in kind) dan atau kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah;
d. Pembayaran dari perusahaan asuransi
kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
e. Dividen atau bagian laba yang
diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri,
koperasi, BUMN, atau BUMD, dari penyerahan modal pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia yang memenuhi syarat.
f. Iuran yang diterima atau diperoleh
dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keungan, baik yang
dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
g. Penghasilan dari modal yang
ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam
bidang-bidang tertentu yang diterapkan dengan Keputusan Menteri Keungan;
h. Bagian laba yang diterima atau
diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas
saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi termasuk pemegang unit
penyertaan kontrak investasi kolektif;
i. Bunga obligasi yang diterima atau
diperoleh perusahaan reksadana selama 5 tahun pertama sejak pendirian
perusahaan atau pemberian ijin usaha (dihapus dalam Undang Undang Pajak
Penghasilan yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2009).
j. Penghasilan yang diterima atau
diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha
yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat
badan pasangan usaha tersebut:
k. Merupakan perusahaan mikro, kecil,
menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan; dan
l. Sahamnya tidak diperdagangkan di
bursa efek di Indonesia.
m. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keungan;
n. Sisa lebih yang diterima atau
diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan
atau bidang penelitiann dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi
yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/ atau penelitian dan pengembangan , dalam jangka waktu
paling lama 4 tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
o. Bantuan atau santunan yang
dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kepada Wajib Pajak tertentu,
yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
2.3MEKANISME PEMAJAKAN PPH DAN RUMUS
UMUM MENGHITUNG PPH
Pada dasarnya jika subjek pajak dan
objek pajak dari pajak penghasilan sudah ditentukan, kita langsung dapat
menghitung besarnya PPh terutang untuk menetukan berapa besarnya sebagian
penghasilan (harta kekayaan rakyat) yang harus diberikan kepada negara oleh rakyat
yang menerima atau memperoleh penghasilan. Tetapi sebelum kita membahas cara
menghitung besarnya PPh terutang, kita terlebih dahulu harus mengetaahui siapa
yang diwajibkan untuk menghitung besarnya PPh terutang, menyetorkannya ke kas
negara dan mempertanggunjawabkannya, dan mengenai kapan rakyat atau wajib pajak
harus menghitung sebagian penghasilannya yang harus dibayar ke negara.
1. Sistem Pemajakan PPh
Ketentuan mengenai siapa yang
diwajibkan menghitung besarnya PPh terutang serta bagaimana tata cara menyetor
dan mempertanggungjawabkan kewajibannya itu disebut ketentuan mengenai tata
cara pemajakan atau mekanisme pemajakan atau prosedur pemajakan atau
administrasi perpajakan PPh.
Pada prinsipnya WP (Tak Payer)
itu sendiri harus menghitung dan menetapkan berapa besarnya PPh terutang lalu
segera melunasi/membayar sendiri ke kas negara. Cara ini dinamakan cara
menetapkan dan membayar pajak sendiri (Self Assesment System) (dasar
hukumnya adalah Pasal 12 UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2000
yang disingkat UU KUP). Istilah Self Assesment System adalah
istilah hukum. Sedangkan istilah administrasinya adalah Self Taxing
System (Sistem Pemajakan Sendiri).
Pengertian sistem pemajakan sendiri
adalah WP yang menerima atau memeperoleh penghasilan (menanggung beban pajak)
itu sendiri yang menghitung dan menetapkan besarnya pajak yang harus
dibayarnya, membayarnya ke kas negara dan melaporkan perhitungan dan pembayaran
pajak tersebut ke aparat pajak, serta mempertanggungjawabkannya.
Self Assesment System atau sistem
pemajakan sendiri memiliki kelemahaan, yaitu WP bisa melakukan penyelundupan
pajak, misalnya dengan menyembunyikan penghasilannya atau melaporkannya dengan
tidak benar, dan lain-lain. Untuk melengkapi atau menutupi kelemahan sistem
ini, maka pemajakan PPh juga dilakukan dengan cara:
Sistem Pemotongan (pajak) oleh pihak ketiga (With
Holding System). Yang dimaksud dengan pihak ketiga adalah pihak yang
membayarkan atau terutang penghasilan. Pihak ketiga itu disebut pemotong PPh.
Jadi yang menghitung dan menetapkan besarnya PPh terutang adaalah pemotong PPh,
bukan WP sebagai pihak yang menerima penghasilan. Setelah menghitung besarnya
PPh terutang, maka pemotong PPh tersebut memotong dari penghasilan tersebut
sebesar PPh yang telah dihitungnya dan menyetorkannya ke kas negara untuk dan
atas nama penerima penghasilan. Lalu pihak ketiga tersebut (Pemotong PPh)
melaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat ia terdaftar dan
mempertanggungjawabkannya. Jika pemotong PPh melakukan kesalahan dalam memotong
PPh, maka sanksi administrasi perpajakan akan dikenakan terhadap Pemotong PPh,
bukan kepada WP penerima penghasilan.
Setiap badan pemerintah,
penyelenggara kegiatan, Subjek Pajak Badan Dalam Negeri, Sujek Pajak Warisan
yang Belum terbagi, Subjek Pajak BUT, dan perwakilan perusahaan luar negeri
lainnya secara otomatis (ditentukan langsung oleh UU PPh) menjadi pemotong PPh.
Sedangkan Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri baru menjadi Pemotong PPh
jika ia ditunjuk melalui keputusan Dirjen Pajak sebagai Pemotong PPh. Mereka
adalah Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang WNA (Warga Negara Asing)
atau Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang menyelenggarakan pembukuan
dan/ atau yang berprofesi sebagai tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas
(yang dimaksud dengan tenaga ahli adalah Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri yang melakukan pekerjaan bebas yang meliputi Dokter, Pengacara, Notaris,
PPAT selain Camat, Akuntan, Konsultan, Aktuaris, Penilai, Arsitek). Dan mereka
hanya terbatas sebagai Pemotong PPh atas penghasilan sewa. Pemajakan dengan
sistem pemotongan dan pemungutan disebut pemajakan pada sumber/asal
penghasilan, sehingga sulit bagi WP yang menerima atau memperoleh penghasilan
menggelapkan penghasilannya. Karena penghasilan yang diterima atau diperolehnya
tersebut dilaporkan ke Kantor Pajak oleh pihak yang membayarkan.
2. Pemajakan Secara Periodik dan Saat
Terutang Pajak Penghasilan
Penghitungan dan
penyetoran/pembayaran PPh ke negara dimulai jika berdasarkan UU PPh (berdasarkan
kesepakatan antar rakyat yang diwakili oleh Parlemen Negara yang diwakili oleh
Eksekutif yang dituangkan dalam UU PPh) telah timbul kewajiban dari rakyat atau
Wajib Pajak untuk membayar PPh ke negara atau telah. timbul hak negara untuk
menagih PPh dari Wajib Pajak tersebut. Ketentuan mengenai kapan timbulonya
kewajiban Wajib Pajak untuk membayar sebagian penghasilannya disebut ketentuan
mengenai saat timbulnya utang PPh atau saat terutangnya PPh. Kita mengenal
istilah janji adalah utang, artinya utang timbul karena perjanjian. Demikian
pula halnya dengan perpajakan, utang PPh itu timbul karena perjanjian, yaitu
perjanjian antara rakyar itu sendiri yang diwakili oleh parlemen dan negara
yang diwakili oleh eksekutif dimana perjanjian itu dituangkan dalam bentuk UU
yang disebut UU Pajak.
Untuk PPh yang dihitung atau
dipajaki pada setiap tahun pajak berakhir disebut Utang PPh Tahunan atau PPh
Tahunan Terutang dan dibedakan atas utang:
a. PPh Tahunan WP Orang Pribadi (Dalam Negeri), yaitu PPh
tahunan yang dikenakan terhadap WP Orang Pribadi Dalam Negeri pada akhir tahun
atas semua penghasilan yang dikenai PPh bersifat tidak final yang diterima atau
diperolehnya selama setahun dari awal tahun sampai akhir tahun.
b. PPh Tahunan WP Badan (Dalam Negeri), yaitu PPh tahunan
yang dikenakan terhadap WP Badan Dalam Negeri pada akhir tahun atas semua
penghasilan yang dikenakan PPh bersifat tidak final yang siterima atau
diperolehnya selama setahun dari awal tahun sampai akhir tahun.
c. PPh Tahunan BUT (WP orang Pribadi/Badan Luar Negeri
BUT), yaitu PPh tahunan yang dikenakan terhadap WP BUT pada akhir tahun atas
semua penghasilan yang dikenakan PPh bersifat tidak final yang diterima atau
diperolehnya selama setahun dari awal tahun sampai akhir tahun.
d. PPh Tahunan WP Warisan yang belum terbagi, yaitu PPh
tahunan yang dikenakan terhadap WP Warisan yang belum etrbagi pada akhir tahun
atas semua penghasilan yang dikenai PPh bersifat tidak final yang diterima atau
diperolehnya selama setahun dari awal tahun sampai akhir tahun.
e. PPh Tahunan Pasal 21. PPh Tahunan Pasal 21 adalah uang
muka PPh Tahunan WP Orang Pribadi dalam negeri yang dikenakan terhadap Wajib
Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri khusus atas penghasilan yang dikenakan PPh
bersifat tidak final berupa penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang
diterima atau diperolehnya dari awal tahun sampai akhir tahun bersangkutan.
Ketentuan mengenai mekanisme pemajakan PPh Tahunan Pasal 21 diatur di Pasal 21
UU PPh sehingga disebut PPh Pasal 21.
3. Uang Muka PPh
Mengingat Pemajakan setelah tahun pajak berakhir
mengandung kelemahan berupa:
a. Terbukanya peluang bagi WP untuk
menggelapkan penghasilan yang diterima atau diperolehnya pada awal-awal tahun,
kemungkinan WP sudah tidak mempunyai uang lagi untuk membayar PPh pada akhir
tahun karena sudah habis dipakai sehingga menyulitkan penerimaan negara.
b. Mengingat WP untuk membayar utang
PPh Tahunan dalam jumlah besar dan lain-lain.
c. Demi bisa melakukan cek silang untuk
kepentingan intensifikasi WP.
d. Mencegah penyelundupan pajak dan
lain-lain.
Maka UU PPh menentuka bahwa pada
saat menerima atau memperoleh penghasilan terutama selama satu tahun berjalan,
WP yang menerima atau memperoleh penghasilan tertentu tersebut diharuskan
membayar uang muka PPh dalam jumlah tertentu dari penghasilan tertentu itu
melalui sistem pemotongan atau pemungutan atau pemajakan sendiri. Ketentuan
tersebut diatur di BAB V UU PPh tentang Pelunasan PPh Selama Tahun Berjalan
(Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25). Nanti pada akhir
tahun pajak, penghasilan itu ditambah dengan penghasilan lain yang tidak
dikenai uang muka PPh dikenai PPh tahunan (dihitung PPh tahunan terutang).
Sedangkan uang muka PPh yang telah dibayar selama tahun berjalan tersebut bisa
diperhitungkan sebagai kredit pajak (pengurang) dari PPh Tahunan Terutang (Bab
V UU PPh Tentang Perhitungan Pajak Pada Akhir Tahun).
4. Rumus Umum Perhitungan PPh
Cara Menghitung PPh Terutang, baik
PPh Tahunan Terutang, PPh Final Terutang, maupun Uang Muka PPh Terutang bisa
disajikan berupa rumus umum perhitungan PPh Terutang sebagai berikut:
Dasar Pengenaan Tarif Pajak x Tarif PPh = PPh
Terutang
(Base
x Rate
= Tax)
Dasar pengenaan pajak adalah suatu
jumlah yang terhadapnya langsung diterapkan tarif pajak.
Dalam UU PPh, Dasar Pengenaan Pajak
(DPP) dibedakan menjadi dua yaitu
1. DPP untuk pemajakan PPh bulanan hak
pemajakan PPh final maupun pemajakan uang muka PPh adalah
a. Penghasilan bruto atau jumlah bruto
tanpa PPN/PPnBM, atau
b. Perkiraan penghasilan netto
(penghasilan netto yang dikira-kira saja).
2. DPP untuk pemajakan PPh Tahunan pada
akhir tahun pajak/buku adalah Penghasilan Kena Pajak (PKP). PKP dihitung
sebagai berikut:
a. Bagi WP Orang Pribadi Dalam Negeri
yang tidak wajib pembukuan (omset setahun tidak melampaui 600 juta) PKP
dihitung dari penghasilan bruto dikalikan norma penghitungan penghasilan neto.
Norma penghitungan penghasilan neto merupakan suatu persentase yang besarnya
ditentukan oleh Dirjen Pajak (Pasal 14 UU PPh).
b. Bagi WP yang wajib pembukuan (WP
Orang Pribadi Dalam Negeri yang omset setahun melebihi 600 juta, Wp Badan Dalam
Negeri, WP BUT, dan WP Warisan yang belum terbagi) PKP dihitung dari
penghasilan bruto dikurangi biaya-biaya atau pengeluaran-pengeluaran untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut (Pasal 6 sd 11, Pasal
9 dan 18 UU PPh) serta kompensasi kerugian fiskal. Perhitungan ini mirip dengan
perhitungan laba netto dalam akuntansi.
c. Bagi WP yang wajib pembukuan, tetapi
karena sifat usahanya sulit menetukan penghasilan neto (seperti Wp yang
bergerak di bidang pelayanan atau penerbangan internasional), PKP dihitung dari
penghasilan bruto dikalikan Norma Penghitungan Khusus. Norma Penghitungan
Khusus merupakan suatu persentase yang besarnya ditentukan oleh Menteri
Keuangan yang mendapat wewenang dari UU PPh (Pasal 15 UU PPh).
jadi dalam menghitung PKP untuk menjadi DPP, kita
peratama-tama harus menghitung penghasilan netonya terlebih dahulu.
Tarif PPh
Tarif PPh dibedakan atas:
1. Tarif Pasal 17
Tarif Pasal 17 untuk WP Dalam Negeri (orang
pribadi/badan/warisan yang belum dibagi) dan WP BUT sebagaimana diatur di Pasal
17 UU PPh. Disebut tarif Pasal 17 karena ketentuannya diatur di Pasal 17 UU
PPh. Tarif Pasal 17 digunakan untuk menghitug PPh tahunan dan PPh bulanan Pasal
21.
2. Tarif Fiksi/Khusus
Tarif fiksi/khusus yaitu tarif yang besarnya
ditentukan berdasarkan kira-kira saja oleh UU PPh, seperti tarif PPh Pasal 23
sebesar 15% atau oleh pejabat yang diberi wewenang oleh UU PPh (bisa Presiden,
Menteri Keuangan, Dirjen Pajak), seperti tariif PPh final dan tarif PPh Pasal
22. Tarif Fiksi/Khusus digunakan untuk pemajakan bulanan, PPh Final, Uang Muka
PPh seperti PPh bulanan Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23.
3. Tarif Pasal 26
Tarif Pasal 26 untuk WP luar negeri selain BUT
sebagaimana diatur di Pasal 26 UU PPh. Dinamai tarif Pasal 26 karena
ketentuannya diatur di Pasal 26 tarif PPh. Tarif Pasal 26 digunakan untuk
pemajakan/perhitungan pasal 26.
Besarnya Tarif
Tarif Pasal 17 untuk pemajakan PPh
Tahunan dan PPh Bulanan Pasal 21 dibedakan atas tarif Pasal 17 untuk Wajib
Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan tarif Pasal 17 untuk WP Badan Dalam Negeri
dan WP BUT.
Tarif Pasal 17 ayat 1a untuk WP Orang Pribadi Dalam
Negeri sebesar
Untuk Lapisan PKP
|
Tarif
|
> 0,00
s/d 25.000.000,00
|
5%
|
>25.000.000,00
s/d 50.000.000,00
|
10%
|
>.000.000,00
s/d 100.000.000,00
|
15%
|
>100.000.000,00
s/d 200.000.000,00
|
25%
|
>200.000.000,00
|
35%
|
Mekanisme perpajakan dan rumus umum menghitung
PPh
Mekanisme perhitungan PPh pasal 21
Secara umum
rumus menghitung PPh 21 adalah:
Penghasilan
Bersih per bulan
|
xxx
|
|
Penghasilan
bersih disetahunkan
|
xxx
|
(x12
bulan)
|
PTKP
|
xxx
|
(-)
|
Penghasilan
Kena Pajak
|
xxx
|
|
PPh
Terutang setahun
|
xxx
|
(x tarif
PPh 21)
|
PPh
Terutang per bulan
|
xxx
|
(÷ 12
bulan)
|
Secara umum,
langkah-langkah atau mekanisme dalam penghitungan umum PPh Badan adalah sebagai
berikut:
1. Menghitung
Penghasilan Kena Pajak (PKP)
Yaitu dengan cara menghitung (menentukan) besarnya penghasilan neto fiskal dikurangi dengan kompensasi kerugian fiskal
Yaitu dengan cara menghitung (menentukan) besarnya penghasilan neto fiskal dikurangi dengan kompensasi kerugian fiskal
2. Menghitung
PPh Terutang
Penghitungan PPh Terutang dilakukan dengan cara mengalikan Penghasilan Kena Pajak (PKP) dengan tarif pajak yang berlaku (sesuai dengan kriteria Wajib Pajak), dikurangi dengan pengembalian/pengurangan kredit pajak luar negeri yang (PPh Pasal 24) yang telah diperhitungkan tahun lalu
Penghitungan PPh Terutang dilakukan dengan cara mengalikan Penghasilan Kena Pajak (PKP) dengan tarif pajak yang berlaku (sesuai dengan kriteria Wajib Pajak), dikurangi dengan pengembalian/pengurangan kredit pajak luar negeri yang (PPh Pasal 24) yang telah diperhitungkan tahun lalu
PPh Terutang
= Penghasilan Kena Pajak X Tarif PPh Badan
atau dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Peredaran
Bruto
|
Rp xxxxx
|
|
Biaya –
biaya
|
Rp xxxxx
|
|
------------------
|
-
|
|
Penghasilan
Neto
|
Rp xxxxx
|
|
Kompensasi
Kerugian
|
Rp xxxxx
|
|
------------------
|
-
|
|
Penghasilan
Kena Pajak
|
Rp xxxxx
|
|
Tarif
Pajak
|
xxx %
|
|
------------------
|
X
|
|
PPh
Terutang
|
Rp xxxxx
|
|
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pajak penghasilan adalah pajak yang
dikenakan pada sorang pribadi maupun badan atas penghasilan yang diperolehnya
pada periode tahun pajak, Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas
penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan,
jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri.
Yang menjadi objek pajak adalah
penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia,
yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Jadi jika orang pribadi atau badan telah
memenuhi syarat subjektif (telah memenuhi syarat sebagai subjek pajak) dan
telah memenuhi syaraat objektif (telah menerima atau memperoleh penghasilan),
maka orang pribadi atau badan tersebut otomatis menjadi wajib pajak.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Mardiasmo, MBA.,AK, Dkk.
2011. Perpajakan. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Markus, muda. 2005. Perpajakan
Indonesia (Suatu Pengantar). Jakarta: PT. Gramedia Putaka Utama.
Dr. Gunadi. 2001. Ketentuan Dasar Pajak Penghasilan.
Jakarta: Salemba.
0 Response to "MAKALAH PAJAK PENGHASILAN"
Post a Comment